JAKARTA, KOMPAS.com - Pegiat pemilu Wahidah Suaib yang tergabung dalam organisme Maju Perempuan Indonesia (MPI) meminta Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI tak tinggal diam soal aturan baru Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bisa mengurangi keterwakilan perempuan di parlemen.
Mantan komisioner Bawaslu ini menegaskan bahwa lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk mengoreksi KPU melalui ragam upaya.
Terlebih, pembuatan peraturan KPU merupakan salah satu tahapan Pemilu 2024 yang sudah jelas merupakan objek pengawasan Bawaslu.
"Bawaslu punya juga kewenangan melakukan uji materi terhadap peraturan KPU yang bertentangan dengan undang-undang. Kedua, Bawaslu kan juga menegakkan aturan undang-undang, bisa memproses dugaan pelanggaran yang dilakukan KPU," ungkap Wahidah dalam jumpa pers, Minggu (7/5/2023).
"Ada 3 jalan (yang bisa dilakukan Bawaslu). Pertama, uji materi peraturan KPU ke Mahkamah Agung. Kedua, memproses dugaan pelanggaran pemilu oleh KPU. Ketiga, secara persuasif meminta KPU mengoreksi peraturan itu," jelas dia.
Wahidah menilai KPU telah berlaku ahistoris dengan menerbitkan aturan baru yang justru bertentangan dengan semangat untuk terus meningkatkan derajat keterwakilan perempuan dalam pemilu dan lembaga negara.
KPU dinilai justru menciptakan kemunduran, melalui aturan baru ini, yang kontraproduktif dengan segala capaian yang berhasil diraih melalui advokasi tahunan para aktivis dan penyelenggara negara yang ingin penyelenggaraan pemilu lebih berperspektif gender.
Jumlah caleg perempuan, misalnya, sejak pemilu secara langsung digelar pada 2004, selalu menunjukkan tren kenaikan, berdasarkan riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).
Pada 2004, persentase keterwakilan caleg perempuan baru 29.
Pada 2009, jumlah itu naik jadi 33,6 persen, sebelum naik lagi ke angka 37,6 persen pada 2014. Terakhir, 2019, persentasenya semakin baik dengan adanya 40 persen perempuan.
Wahidah menilai, perkembangan ini merupakan hasil paksaan dari Undang-undang Pemilu yang mensyaratkan 30 persen perempuan dalam daftar caleg.
"Tolong KPU tidak ahistoris terhadap itu," ujar dia.
Sebagai informasi, aturan baru KPU ini termuat dalam Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
KPU membuka kemungkinan pembulatan desimal ke bawah jika perhitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima.
Hal ini berbeda dengan beleid sejenis untuk Pemilu 2019, yaitu Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2018, yang menerapkan pembulatan desimal ke atas.
Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 8 caleg, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen.
KPU RI menyebut bahwa diterbitkannya ketentuan ini sudah atas sejumlah proses, termasuk rapat konsultasi di DPR RI dan uji publik ketika Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 masih berstatus rancangan.
"Dan terkait dengan penggunaan penarikan desimal hasil perkalian dengan presentase tersebut, itu menggunakan standar pembulatan matematika, bukan kami membuat norma dan standar baru dalam matematika," ujar Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, Idham Holik, Rabu (3/5/2023).
"Kami telah berkomunikasi dengan partai politik. Pada dasarnya partai politik karena affirmative action (untuk keterwakilan perempuan 30 persen) bukanlah hal baru, mereka juga punya semangat untuk mendorong caleg-caleg perempuan lebih banyak lagi. Itu yang ditangkap seperti itu," tambah dia.
https://nasional.kompas.com/read/2023/05/07/14510371/bawaslu-diminta-sikapi-aturan-baru-kpu-yang-bisa-kurangi-porsi-perempuan-di