Salin Artikel

4 Poin UU MK yang Bakal Direvisi: Syarat Usia hingga Evaluasi Hakim Konstitusi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi III DPR RI mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).

Sedikitnya, ada empat poin yang bakal direvisi di UU MK, meliputi syarat batas usia minimal hakim konstitusi, evaluasi hakim konstitusi, lalu unsur keanggotaan Majelis Kehormatan MK.

"Serta penghapusan ketentuan peralihan mengenai masa jabatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi," kata anggota Komisi III DPR Habiburokhman saat rapat kerja bersama Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (15/2/2023).

Menurut Habiburokhman, ada sejumlah alasan yang mendasari pentingnya revisi UU ini.

Antara lain, karena terdapat sejumlah aturan yang dibatalkan oleh MK seperti Putusan Nomor 96/PUU-XVII/2020 tentang uji materi aturan masa jabatan hakim konsititusi dalam UU MK, serta Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022 tentang uji materi kekuasaan kehakiman yang diatur UU MK.

Menurut Habiburokhman ketentuan dalam UU MK yang ada saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kehidupan ketatanegaraan.

"Menyesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan," ujar dia.

Dengan rencana ini, maka UU MK akan direvisi untuk yang keempat kalinya. Diketahui, UU MK terakhir kali direvisi pada 2020 lalu.

Produk DPR dibatalkan

Sementara, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul mengatakan, revisi UU MK dimaksudkan agar penegakan hukum benar-benar dilaksanakan oleh MK.

Mulanya, Pacul menyinggung soal tugas MK dalam mengawal konstitusi.

"Bagaimana menerjemahkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 clear. Karena sesungguhnya tugas terutama dan paling utama bagi MK adalah menyandingkan UU dengan UUD 1945," kata Pacul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023).

Menurut Pacul, tugas tersebut belum sepenuhnya dilakukan MK. Sebaliknya, dia menuding, MK kerap membatalkan UU yang dibuat DPR.

"Mengevaluasi hakim-hakim yang tidak menjalankan tugasnya. Nah tugas-tugasnya peraturan MK sekarang kita baca semua, supaya kita clear di dalam membuat UU tidak di-judicial review, malu, DPR malu, kalau UU di-judicial review kemudian dibatalkan," ungkapnya.

Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDI-P ini lantas menyebutkan sejumlah UU produk DPR yang dibatalkan MK. Salah satunya, UU Cipta Kerja atau Ciptaker.

"UU Ciptaker, masa dibatalkan dengan UU Pembentukan Peraturan Perundangan, jangan begitu dong solusinya," kata Pacul.

Intervensi MK

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai, tidak ada urgensi untuk merevisi UU MK. Apalagi, UU tersebut sebelumnya telah direvisi sebanyak tiga kali.

"Tidak ada urgensi sama sekali," kata Feri kepada Kompas.com, Jumat (17/2/2023).

Feri curiga, revisi UU MK yang keempat kalinya itu bertujuan untuk memengaruhi independensi MK jelang Pemilu 2024. Ini mengingat uji materi UU Pemilu tengah bergulir di MK.

Lewat revisi UU MK ini, boleh jadi DPR hendak menakuti hakim konstitusi supaya patuh terhadap kepentingan legislatif mengenai pengujian UU Pemilu.

"Dan juga berkaitan dengan sengketa pemilu yang mana putusan MK itu akan menentukan siapa yang akan jadi pemenang sengketa pemilu," ujar Feri.

Feri mengatakan, menjadi tugas MK untuk mengoreksi UU yang bertentangan dengan konstitusi, sekalipun UU tersebut produk DPR.

Oleh karenanya, revisi UU MK ini dinilai sebagai upaya terang-terangan untuk mengintervensi MK, sekaligus melawan konstitusi.

"Jika DPR melakukan ini, jelas ini upya terencana untuk mengendalikan MK di tengah upaya MK sedang memperbaiki diri," tutur Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas itu.

https://nasional.kompas.com/read/2023/02/17/09533141/4-poin-uu-mk-yang-bakal-direvisi-syarat-usia-hingga-evaluasi-hakim

Terkini Lainnya

Tanggal 24 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 24 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Polri Sebut Mayoritas Judi Online Dioperasikan dari Mekong Raya

Polri Sebut Mayoritas Judi Online Dioperasikan dari Mekong Raya

Nasional
KPK Sadap Lebih dari 500 Ponsel, tetapi 'Zonk' karena Koruptor Makin Pintar

KPK Sadap Lebih dari 500 Ponsel, tetapi "Zonk" karena Koruptor Makin Pintar

Nasional
Polri Sebut Bandar Judi “Online” Akan Dijerat TPPU

Polri Sebut Bandar Judi “Online” Akan Dijerat TPPU

Nasional
Pimpinan KPK Sebut OTT 'Hiburan' agar Masyarakat Senang

Pimpinan KPK Sebut OTT "Hiburan" agar Masyarakat Senang

Nasional
Dapat Banyak Ucapan Ulang Tahun, Jokowi: Terima Kasih Seluruh Masyarakat Atas Perhatiannya

Dapat Banyak Ucapan Ulang Tahun, Jokowi: Terima Kasih Seluruh Masyarakat Atas Perhatiannya

Nasional
Polri: Perputaran Uang 3 Situs Judi Online dengan 18 Tersangka Capai Rp1 Triliun

Polri: Perputaran Uang 3 Situs Judi Online dengan 18 Tersangka Capai Rp1 Triliun

Nasional
Menag: Tidak Ada Penyalahgunaan Kuota Haji Tambahan

Menag: Tidak Ada Penyalahgunaan Kuota Haji Tambahan

Nasional
Polri Tangkap 5.982 Tersangka Judi 'Online' Sejak 2022, Puluhan Ribu Situs Diblokir

Polri Tangkap 5.982 Tersangka Judi "Online" Sejak 2022, Puluhan Ribu Situs Diblokir

Nasional
KPK Geledah Rumah Mantan Direktur PT PGN

KPK Geledah Rumah Mantan Direktur PT PGN

Nasional
Imbas Gangguan PDN, Lembaga Pemerintah Diminta Tak Terlalu Bergantung

Imbas Gangguan PDN, Lembaga Pemerintah Diminta Tak Terlalu Bergantung

Nasional
Soroti Vonis Achsanul Qosasi, Wakil Ketua KPK: Korupsi Rp 40 M, Hukumannya 2,5 Tahun

Soroti Vonis Achsanul Qosasi, Wakil Ketua KPK: Korupsi Rp 40 M, Hukumannya 2,5 Tahun

Nasional
Polri Akui Anggotanya Kurang Teliti saat Awal Pengusutan Kasus 'Vina Cirebon'

Polri Akui Anggotanya Kurang Teliti saat Awal Pengusutan Kasus "Vina Cirebon"

Nasional
Tanggapi Survei Litbang Kompas, Istana: Presiden Konsisten Jalankan Kepemimpinan Merakyat

Tanggapi Survei Litbang Kompas, Istana: Presiden Konsisten Jalankan Kepemimpinan Merakyat

Nasional
Kemensos: Bansos Tak Diberikan ke Pelaku Judi Online, Tetapi Keluarganya Berhak Menerima

Kemensos: Bansos Tak Diberikan ke Pelaku Judi Online, Tetapi Keluarganya Berhak Menerima

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke