Pelaksana tugas (Plt) Direktur Pengelolaan Imunisasi Ditjen P2P Kemenkes Prima Yosephine mengatakan, hanya ada 7 persen anak yang sudah mendapat imunisasi campak dan rubella dua dosis atau lebih; 5 persen yang mendapat 1 dosis; dan 30 persen lainnya tak diketahui status vaksinasinya.
"Kasus sebagian besar tidak pernah diimunisasi. Beberapa ada yang diimunisasi tapi enggak lengkap. Yang lengkap hanya sebagian kecil. Sedangkan beberapa juga tidak diketahui status imunisasinya," kata Prima dalam konferensi pers secara daring, Jumat (20/1/2023).
Prima mengungkapkan, campak memang bisa dicegah dengan imunisasi.
Namun, Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) untuk mengejar imunisasi campak dan rubella di luar Jawa Bali belum memenuhi target. Dari target 95 persen, realisasinya hanya 60,13 persen.
Sementara di Pulau Jawa dan Bali sudah mencapai target sebesar 98 persen, sehingga tetap cakupan BIAN secara nasional mencapai 72,2 persen.
"Artinya masih ada anak yang masih belum bisa menemukan atau belum memiliki kekebalan terhadap campak," ujar Prima.
Sebuah wilayah ditetapkan KLB jika ada minimal dua kasus campak yang sudah terkonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium dan memiliki kaitan epidemiologi.
"Kalau kita bandingkan dengan keadaan di 2021, memang ada peningkatan yang begitu signifikan. Dibandingkan 2021 meningkat 32 kali lipat," kata Prima.
Adanya kenaikan kasus campak lantas membuat target eliminasi penyakit campak dan rubella tahun 2023 sulit tercapai.
Berdasarkan rencana, eliminasi ini dilakukan dengan capaian imunisasi yang tinggi dan merata, serta surveilans campak dan rubella dengan target discarded 2/100.000 penduduk.
"Tahun ini sebetulnya mimpinya. Tapi, dengan adanya kenaikan kasus campak di negara kita, tentu mimpi mencapai eliminasi menjadi agak sulit untuk merealisasikan tahun ini," ujar Prima.
https://nasional.kompas.com/read/2023/01/20/18505251/kemenkes-58-persen-kasus-konfirmasi-campak-diderita-anak-yang-belum