JAKARTA, KOMPAS.com - Kerja operasi tangkap tangan (OTT) sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disorot.
OTT yang kerap dilakukan Komisi Antirasuah untuk meringkus maling uang negara maupun oknum pejabat pemerintah yang menerima suap itu justru dipandang buruk untuk Indonesia.
Padahal, masifnya OTT yang dilakukan beberapa waktu lalu sempat membuat KPK diganjar penghargaan Ramon Magsaysay Award oleh pemerintah Filipina pada 2013.
Dalam situs resmi Ramon Magsaysay Award Foundation (RMAF), disebutkan, KPK menjadi lembaga yang mandiri dan independen, sekaligus menjadi harapan dan keyakinan untuk memberantas korupsi, kejahatan luar biasa yang perlu ditangani dengan cara luar biasa.
Namun dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), OTT yang dilakukan KPK dalam empat tahun terakhir mengalami penurunan. Pada 2018, KPK berhasil melakukan 30 OTT. Sementara pada 2019 turun menjadi 21 OTT dan hanya 7 OTT pada 2020.
Sementara pada 2021, ICW mencatat, KPK hanya berhasil melakukan 11 OTT.
Di tengah OTT KPK yang kian merosot, langkah penegakan hukum itu, justru menurut Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dipandang kurang baik. Sehingga, ia meminta KPK untuk tidak 'kerap' melakukan OTT.
Menurut Luhut, untuk mencegah korupsi, upaya digitalisasi perlu dilakukan dengan cara lain, seperti menggalakkan digitalisasi di berbagai sektor.
“Jadi KPK pun jangan pula sedikit sedikit tangkap tangkap, itu. Ya lihat-lihatlah, tetapi kalau digitalisasi ini sudah jalan, menurut saya, (koruptor) enggak akan bisa main-main," kata Luhut saat memberikan sambutan dalam acara Peluncuran Aksi Pencegahan Korupsi yang digelar Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) di Thamrin Nine Ballroom, Jakarta Pusat, Selasa (21/12/2022).
Luhut membeberkan beberapa keuntungan digitalisasi. Dua diantaranya adalah penerapan digitalisasi sektor pelabuhan dan E Katalog. Adapun E Katalog merupakan aplikasi yang dikembangkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Menurut Luhut, E Katalog telah memuat 2,3 memuat 2,3 juta item dengan nilai Rp 1.600 triliun. Jumlah itu setara 105 miliar dollar Amerika Serikat. Perputaran barang dan jasa sebanyak itu dinilai bisa menjadi tempat korupsi.
Dengan menerapkan digitalisasi, kata Luhut, tidak ada pihak yang bisa melawan dan melakukan kecurangan.
"Karena ini mengubah negeri ini, kita enggak usaha bicara tinggi-tinggilah, kita OTT-OTT itu kan enggak bagus sebenarnya, buat negeri ini jelek banget," kata Luhut.
"Ya kalau hidup-hidup sedikit bisa lah. Kita mau bersih-bersih amat di surga sajalah kau," ucap Luhut kemudian.
Orang apes
Di sisi lain, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata berpandangan bahwa mereka yang terjaring OTT KPK, hanya sedang sial atau apes.
Menurut Alex, pandangan ini ia dapatkan dalam percakapannya dengan salah satu terduga pelaku korupsi. Menurutnya, pejabat yang lain juga melakukan korupsi.
“Saya kok masih merasa ya orang yang kemudian tertangkap tangan atau berperkara, atau terkena korupsi, itu apes,” kata Alex sebagaimana dikutip dari YouTube Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI, Selasa (13/12/2022).
Mantan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu menyebut pelaku yang tidak terjaring OTT melakukan aksi korupsinya dengan lebih rapi. Mereka juga lihai menyembunyikan kekayaan.
“Loh kenapa? Sebetulnya yang lain kelakuannya sama, begitu kan. Hanya mereka lebih rapi,” kata Alex saat menceritakan percakapannya dengan terduga pelaku korupsi.
Menurut Alex, kemungkinan perbuatan korupsi seseorang diketahui aparat penegak hukum rendah. Hal ini membuat para pejabat nyaman melakukan korupsi.
Jika tidak ada pihak yang melapor, kata dia, maka korupsi tidak bisa diusut.
Menurut Alex, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejauh ini belum bisa mengungkap banyak perbuatan korupsi pejabat. Selain itu, kinerja inspektur di setiap kementerian/lembaga juga menunjukkan hal yang sama.
“Ada penyimpangan tapi lebih banyak penyimpangan itu dikategorikan sebagai pelanggaran administratif,” ujar Alex menyayangkan.
OTT tak boleh diintervensi
Terpisah, Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengingatkan bahwa kegiatan OTTtidak boleh diintervensi pihak manapun, termasuk lembaga eksekutif.
Presiden Joko Widodo pun diharapkan dapat menegur Luhut karena dinilai mengintervensi penegakan hukum.
“OTT tidak boleh dicampuri oleh cabang kekuasaan manapun, termasuk eksekutif, apalagi saudara Luhut,” kata Kurnia dalam keterangannya kepada Kompas.com, Rabu (21/12/2022).
ICW memandang OTT merupakan salah satu langkah jitu KPK dalam menindak pelaku korupsi. Upaya paksa itu dinilai efektif membersihkan kekuasaan baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Kurnia menyebut, berkat OTT ratusan orang berhasil diseret ke balik jeruji besi. Mereka terdiri dari penyelenggara negara, aparat penegak hukum, hingga pihak swasta.
Ia lantas mempertanyakan sikap Luhut terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
“Apakah saudara Luhut Binsar tidak senang jika KPK, yang mana merupakan representasi negara, melakukan pemberantasan korupsi?” kata Kurnia.
Menurut Kurnia, cara berpikir Luhut terkait OTT sulit dipahami. Ia menyayangkan sikap Luhut yang memandang citra Indonesia akan buruk karena OTT.
ICW berpendapat, ketika korupsi bisa diberantas secara maksimal maka warga dunia akan mengapresiasi Indonesia. Seperti halnya ketika KPK diganjar Ramon Magsaysay Award oleh pemerintah Filipina beberapa waktu lalu.
Saat itu, pemerintah dinilai sukses memberantas tindak pidana korupsi.
“Kami menduga dua hal. Pertama, saudara Luhut kurang referensi bacaan terkait dengan pemberantasan korupsi. Dua, saudara Luhut tidak paham apa yang ia utarakan,” ucap Kurnia.
https://nasional.kompas.com/read/2022/12/21/08082411/ott-itu-kan-enggak-bagus-sebenarnya-sedikit-sedikit-bisalah-kalau-mau-bersih