Perincian itu tercantum dalam materi permohonan yang diajukan Perludem terkait penataan kembali sejumlah Dapil. Permohonan itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (20/12/2022).
Fadli mencontohkan kasus yang terjadi di Provinsi Banten. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk pada 2020, jumlah penduduk di Provinsi Banten sebanyak 11.904.562 jiwa.
Jika merujuk pada Pasal 188 Ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 7/2017, maka seharusnya Provinsi Banten termasuk dalam kategori memperoleh 100 kursi DPRD Provinsi.
"Namun berdasarkan lampiran IV UU a quo jumlah kursi DPRD Provinsi Banten adalah 85 kursi dengan jumlah daerah pemilihan sebanyak 10," demikian isi dokumen permohonan Perludem kepada MK yang disampaikan Fadli, seperti dikutip Kompas.com pada Selasa (20/12/2022).
Selain itu, kata Fadli, berdasarkan hasil Pemilu DPR pada 2019 terjadi ketimpangan harga suara cukup siginifkan dari 80 daerah pemilihan. Hal itu, kata dia, bertentangan dengan prinsip kesetaraan nilai suara dalam pembentukan daerah pemilihan.
Contoh kasusnya adalah daerah pemilihan Jawa Timur XI yang terdiri empat wilayah administrasi yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Keempat dapil itu mendapat alokasi kursi sebanyak 8 delapan.
Sedangkan harga kursi tertinggi untuk mendapatkan satu kursi di Dapil Jatim XI harus memperoleh suara minimal 212.081.
"Sedangkan daerah pemilihan Kalimantan Utara yang menjadi satu daerah pemilihan sendiri dengan alokasi kursi sebanyak 3, hanya memerlukan 37.616 suara," ucap Fadli.
Fadli juga memaparkan daftar provinsi dengan alokasi kursi berlebih dalam Pemilu, yaitu:
Sedangkan daftar provinsi dengan kekurangan aloksi kursi adalah:
Hal itu, kata dia, terjadi di Daerah Pemilihan Jawa Barat III yang menggabungkan Kota Bogor dengan Kabupaten Cianjur dengan alokasi kursi sebanyak 9.
"Padahal kedua wilayah ini tidak terpadu, tidak berdekatan, dan tidak berbatasan secara langsung, melainkan terpisahkan oleh Kabupaten Bogor," ucap Fadli.
Menurut Fadli, seharusnya Kota Bogor digabung dengan Kabupaten Bogor yang secara geografis berbatasan langsung.
Selain itu, kata Fadli, jika ditinjau dari prinsip kohesivitas, kedua wilayah administrasi ini memiliki konteks sosial dan ekonomi yang berbeda.
Menurut Fadli situasi yang terjadi pada Dapil Jabar III juga terjadi di daerah pemilihan DPR Kalimantan Selatan II, dengan jumlah alokasi kursi sebanyak 5.
Dapil Kalsel II meliputi 4 wilayah administrasi yakni Kota Tanah Laut, Tanah Bumbu, Kotabaru, dan Kota Banjarmasin yang tidak berbatasan langsung dengan ketiga wilayah administrasi lainnya. Padahal Banjarmasin berbatasan dengan daerah pemilihan Kalimantan Selatan I yakni Banjar.
"Kota Banjarmasin idealnya digabungkan dengan daerah pemilihan Kalimantan I dalam rangka menjaga prinsip integralitas wilayah, sehingga Kalimantan Selatan II hanya terdiri dari tiga wilayah administrasi," papar Fadli.
Fadil mengatakan, contoh lain pelanggaran prinsip integralitas terjadi pada dapil DKI Jakarta 9 dan DKI Jakarta 10.
Penyebabnya adalah menggabungkan kecamatan yang tidak terpadu atau tidak berbatasan secara langsung dengan kecamatan lainnya.
Fadli mengatakan, dapil DKI Jakarta 9 memiliki alokasi kursi sebanyak 12 dengan tiga wilayah administrasi yakni Kecamatan Cengkareng, Kecamatan Kalideres, dan Kecamatan Tambora yang tidak berbatasan langsung.
"Begitu juga dengan daerah pemilihan DKI Jakarta 10 dengan alokasi kursi sebanyak 12 memiliki di mana Kecamatan Grogol Petamburan terpisah sendiri dan tidak berbatasan dengan empat kecamatan lainnya yakni Kecamatan Taman Sari, Kecamatan Palmerah, Kecamatan Kebon Jeruk, dan Kecamatan Kembangan," ucap Fadli.
Pelanggaran terhadap prinsip integralitas, kata Fadli, juga terjadi pada daerah pemilihan DPRD Provinsi Lampung III dengan alokasi kursi 11.
Pada Dapil DPRD Provinsi Lampung III tercatat Kota Metro terpisah dan tidak berbatasan langsung dengan dua wilayah administrasi lainnya yakni Pringsewu dan Pasawaran.
"Seharusnya, Kota Metro dapat digabungkan dengan daerah pemilihan Lampung 8 yang terdiri dari wilayah administrasi Lampung Timur," ucap Fadli.
Dengan putusan MK itu, maka seluruh kewenangan penetapan dapil dari DPR sampai DPRD Kabupaten/Kota diserahkan kepada KPU.
MK memutuskan Pasal 187 ayat (5) tentang pendapilan DPR RI dan 189 ayat (5) UU Pemilu tentang pendapilan DPR dan DPRD provinsi bertentangan dengan UUD 1945.
MK mengubah Pasal 187 ayat (5) menjadi berbunyi "Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan KPU".
Lalu, Pasal 189 ayat (5) diubah jadi berbunyi "Daerah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur di dalam Peraturan KPU".
MK juga menyatakan Lampiran III dan IV yang mengunci daftar dapil DPR RI dan DPRD provinsi tidak berkekuatan hukum mengikat.
Pemberian kewenangan kepada KPU RI menata dapil pileg DPR RI dan DPRD provinsi dilakukan untuk Pemilu 2024.
"Penentuan daerah pemilihan dan evaluasi penetapan jumlah kursi di masing-masing daerah pemilihan sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan a quo dilaksanakan untuk kepentingan penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024 dan pemilihan umum selanjutnya," tulis amar putusan Mahkamah.
(Penulis : Vitorio Mantalean | Editor : Sabrina Asril)
https://nasional.kompas.com/read/2022/12/20/20535151/deretan-dapil-dpr-dprd-provinsi-yang-dipersoalkan-perludem-dan-dikabulkan-mk