Salin Artikel

Putusan Politik Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi memutuskan, bagi menteri yang mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya.

Keheranan saya semakin menjadi-jadi ketika Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum point [3.12.3] Mahkamah berpendapat, "untuk memberi perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara in casu untuk dapat dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden".

Sikap Mahkamah sebagaimana dalam butir di atas sangat berbeda (baca: inkonsistensi) ketika puluhan gugatan yang diajukan oleh perorangan warga negara, partai politik, anggota DPD RI, mengenai ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU Pemilu.

Dalam pokok permohonan mengenai ambang batas Pencalonan Presiden, secara umum mendalilkan, pemberlakuan Presidential threshold merampas hak pemilih untuk mendapatkan calon presiden yang bervariasi (untuk pemohon perorangan), membatasi partai politik peserta pemilu untuk mengajukan calon atau kader terbaik mereka (pemohon partai politik) dan membatasi tokoh-tokoh bangsa yang potensial dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden (pemohon bakal calon presiden atau wakil presiden seperti Yusril Ihza Mehendra, Rizal Ramli dll)

Dalam pengujian Pasal 222 UU Pemilu, lembaga yang dipimpin Anwar Usman, adik Ipar Joko Widodo, menyebutkan bahwa pasal 222 adalah syarat pencalonan presiden, dan tidak ada hubungannya dengan "kesempatan yang sama in casu pencalonan presiden dan wakil presiden".

Rakyat tetap bisa memilih calon presiden, partai politik yang tidak mencapai ambang batas bisa berkoalisi, dan seterusnya.

Dari dua alasan Mahkamah itu saya berpendapat, Mahkamah "bermuka dua" dalam isu mengenai hak konstitusional warga negara untuk dipilih dan memilih (right to candidate).

Terlihat lebih buruk lagi, ketika Ketua MK itu membacakan frasa "maka pembatasan tersebut adalah bentuk diskriminasi terhadap partai politik saat mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon presiden dan wakil presiden."

Sadar atau tidak, Mahkamah "hipokrit" terhadap pembatasan pasal 222 UU Pemilu itu.

Kalau memang Mahkamah konsisten, maka pertimbangan hukum terhadap pengujian Pasal 222 harus sama, yaitu diskriminasi politik.

Diskriminasi terlihat jelas dalam ketentuan pasal 222 itu, karena tidak memberikan perlakuan yang sama (sangat tidak adil) bagi warga negara yang memiliki hak pilih dalam pemilu, tidak adil terhadap putra-putri terbaik bangsa yang potensial dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden, dan tidak memperlakukan partai politik secara adil untuk mencalonkan kader terbaiknya dalam pilpres.

Terlepas putusan MK yang demikian, putusan pengadilan tetap kita hormati. Namun kalau MK tidak menghormati dirinya sendiri dengan putusan-putusan yang tidak berkualitas dan berpihak pada konstitusi, bagaimana kita menghormati putusan Mahkamah itu?

Dari berbagai putusan MK, saya menduga, sejauh mengenai isu pemilu, lembaga ini menjadi tunggangan atau ditunggangi oleh kepentingan politik dan partai politik.

Karena semua yang menguntungkan partai politik dan jabatan politik telah diakomodasi oleh Mahkamah.

Kredibilitas putusan semacam ini menjadi tanda tanya sebagaian masyarakat, dan bahkan masyarakat menjadi skeptis atas putusan mahkamah.

Putusan akomodatif

Mahkamah Konstitusi telah mengakomodasi conflict of interest antara kepentingan negara dan kepentingan politik kekuasaan.

Mahkamah mencoba menciptakan harmonisasi jabatan dan kepentingan (baca: jabatan untuk kepentingan). Para petualang capres atau cawapres setuju atau tidak, menjadikan instrumen kekuasaan untuk memuluskan tujuannya.

Beberapa Ketua umum Partai juncto menteri Kabinet era Jokowi-Ma'ruf, langsung atau tidak langsung dapat menggunakan instrumen jabatan untuk menggalang dukungan politik tahun 2024.

Pergerakan menteri yang juga bakal calon presiden atau wakil presiden akan menimbulkan abuse of power. Akan terjadi penyelewenangan, penyimpangan pelanggaran hukum yang dilakukan dengan kapasitas resmi.

Mobilisasi kementerian bisa terjadi secara besar-besaran dalam pemilu 2024 dengan putusan Mahkamah ini.

Dengan rendahnya moralitas elite dan tingginya nafsu kekuasaan, tidak akan menutup kemungkinan Kementerian akan menjadi lembaga untuk memuluskan jalanya pencapresan para menteri.

Akhirnya kita akan menyaksikan pertarungan pilpres 2024 akan lahir faksi baru, yaitu kementerian atau dalam bahas Koran Tempo (2/112022) "Calon Presiden Jalur Menteri".

Jabatan menteri akan menjadi batu loncatan bagi ketua umum parpol untuk mendapatkan mewujudkan keinginannya menjadi calon presiden.

Juga, faksi jalur menteri ini bukan tidak mungkin seperti dissenting opinion Hakim Mahkamah Saldi Isra dalam putusan Nomor 68/PUU-XX/2022, mengenai pengujian pasal 170 ayat (1) tersebut.

Saldi dalam pendapatnya yang berbeda dengan putusan Mahkamah itu melihat anomali kalau menteri tidak mundur dari jabatannya ketika mencalonkan diri sebagai presiden.

Bagi Saldi, akan terjadi rivalitas yang cukup serius apabila menteri tidak berhenti jabatannya. Rivalitas antara presiden dan menteri, maupun rivalitas antarkementerian.

Kekhawatiran akan munculnya faksi antarkementerian, dengan alasan terjadinya mobilisasi Vs mobilisasi dalam internal menteri kabinet dengan menggunakan jabatan kementrian yang mereka kuasai.

Hal ini dapat menciptakan instabilitas pemerintahan, bahkan kementrian Vs kementerian akan membelah pemerintah (divided goverment).

Karena itu, putusan mahkamah konstitusi bukan hanya tunggangan partai politik, tetapi juga akomodasi dalam arti menghalalkan adanya kemungkinan penggunaan jabatan untuk kepentingan politik electoral (konflik kepentingan).

Pada akhirnya terjadilah abuse of power, lembaga kementerian menjadi kendaraan politik para kandidat yang mengakibatkan pilpres berjalan tidak adil (unfair election).

Pada akhirnya, dengan putusan MK ini, rakyat yang dirugikan. Kementerian yang seharusnya berpikir bagaimana melayani rakyat, akhirnya melayani kepentingan dan hasrat politik para menteri yang ingin menjadi presiden dan wakil presiden.

Pembangunan akan terhenti, program presiden melalui kementerian terkait tidak jalan.

Lalu siapa yang rugi? Kita semua akan mengalami kerugian. Bangsa ini tidak pernah lagi punya kesempatan untuk memikirkan pembangunan. Para elite akan sibuk memikirkan kekuasaan.

https://nasional.kompas.com/read/2022/11/03/09543871/putusan-politik-mahkamah-konstitusi

Terkini Lainnya

BPIP Siapkan Paskibraka Nasional untuk Harlah Pancasila 1 Juni

BPIP Siapkan Paskibraka Nasional untuk Harlah Pancasila 1 Juni

Nasional
Jaksa Agung Mutasi 78 Eselon II, Ada Kapuspenkum dan 16 Kajati

Jaksa Agung Mutasi 78 Eselon II, Ada Kapuspenkum dan 16 Kajati

Nasional
Hari Ke-14 Haji 2024: Sebanyak 90.132 Jemaah Tiba di Saudi, 11 Orang Wafat

Hari Ke-14 Haji 2024: Sebanyak 90.132 Jemaah Tiba di Saudi, 11 Orang Wafat

Nasional
Di Tengah Rakernas PDI-P, Jokowi Liburan ke Borobudur Bareng Anak-Cucu

Di Tengah Rakernas PDI-P, Jokowi Liburan ke Borobudur Bareng Anak-Cucu

Nasional
DPR Sampaikan Poin Penting dalam World Water Forum ke-10 di Bali

DPR Sampaikan Poin Penting dalam World Water Forum ke-10 di Bali

Nasional
Ahok Mengaku Ditawari PDI-P Maju Pilgub Sumut

Ahok Mengaku Ditawari PDI-P Maju Pilgub Sumut

Nasional
Sadar Diri, PDI-P Cuma Incar Kursi Cawagub di Pilkada Jabar

Sadar Diri, PDI-P Cuma Incar Kursi Cawagub di Pilkada Jabar

Nasional
Tersandung Kasus Pemalsuan Surat, Pj Wali Kota Tanjungpinang Diganti

Tersandung Kasus Pemalsuan Surat, Pj Wali Kota Tanjungpinang Diganti

Nasional
Nasdem dan PKB Diprediksi Dapat 2 Jatah Kursi Menteri dari Prabowo

Nasdem dan PKB Diprediksi Dapat 2 Jatah Kursi Menteri dari Prabowo

Nasional
Hari ke-2 Rakernas PDI-P, Jokowi Masih di Yogyakarta, Gowes Bareng Jan Ethes...

Hari ke-2 Rakernas PDI-P, Jokowi Masih di Yogyakarta, Gowes Bareng Jan Ethes...

Nasional
Refleksi 26 Tahun Reformasi: Perbaiki Penegakan Hukum dan Pendidikan Terjangkau

Refleksi 26 Tahun Reformasi: Perbaiki Penegakan Hukum dan Pendidikan Terjangkau

Nasional
Diajak Jokowi Keliling Malioboro, Jan Ethes Bagi-bagi Kaus ke Warga

Diajak Jokowi Keliling Malioboro, Jan Ethes Bagi-bagi Kaus ke Warga

Nasional
Gerindra Minta soal Jatah Menteri Partai yang Baru Gabung Prabowo Jangan Jadi Polemik

Gerindra Minta soal Jatah Menteri Partai yang Baru Gabung Prabowo Jangan Jadi Polemik

Nasional
Gerindra: Nasdem Sama dengan Partai Koalisi yang Lebih Dulu Gabung, Hormati Hak Prerogatif Prabowo

Gerindra: Nasdem Sama dengan Partai Koalisi yang Lebih Dulu Gabung, Hormati Hak Prerogatif Prabowo

Nasional
Pengamat: Sangat Mungkin Partai yang Tak Berkeringat Dukung Prabowo-Gibran Dapat Jatah Menteri

Pengamat: Sangat Mungkin Partai yang Tak Berkeringat Dukung Prabowo-Gibran Dapat Jatah Menteri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke