Pada era pemerintahan Presiden Keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya, Suciwati kecewa karena SBY tak pernah mengumumkan secara resmi temuan Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Munir.
Setahun menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, SBY mengundang Suciwati bertemu di Istana, tepatnya 26 Maret 2008.
"Aku bertanya-tanya kenapa pertemuan ini baru diadakan SBY menjelang pemilihan presiden? Apakah ini semacam tebar pesona untuk perpanjang masa jabatannya?" kata Suciwati dalam buku yang dia tulis bertajuk "Mencintai Munir".
Saat itu, tidak hanya dia yang diundang, tetapi juga keluarga korban dan pendamping korban pelanggaran HAM lain, seperti Teti, ibu yang anaknya meninggal ditembak dalam tragedi Trisakti.
Kemudian Tirta, korban penembakan Tanjung Priok, Sumarsih dan Azhar dalam peristiwa Talangsari Lampung, korban kerusuhan Mei 1998, dan korban penghilangan paksa 1997-1998.
Manis nian janji SBY kala itu. Suciwati mengingat SBY dengan tegas menekankan bahwa kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan lewat Pengadilan HAM Ad Hoc.
"Yang salah, harus dihukum sesuai kesalahannya. Yang kesalahannya ringan, hukumannya ringan. Yang salahnya berat, harus dihukum berat. Yang tidak bersalah, ya tentu saja tidak dihukum," ucap Suciwati menirukan SBY.
Juru Bicara SBY saat itu, Andi Mallarangeng menggelar konferensi pers. Dalam pernyataannya ke media masa, Andi menyebut SBY akan membentuk tim khusus penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu pada periode keduanya nanti.
Pemilu pun berlangsung, SBY terpilih. Namun, janji pembentukan tim itu seolah menguap.
Presiden berganti, Joko Widodo yang selanjutnya menjabat sebagai pimpinan negara pun melakukan hal seperti SBY.
Setahun jelang pemilu, tepatnya 31 Mei 2018, Jokowi mengundang keluarga korban pelanggaran HAM berat yang tergabung dalam Aksi Kamisan.
Mendengar undangan Jokowi setahun jelang pemilihan presiden, Suciwati menolak.
Penolakannya dikuatkan dengan pengangkatan Wiranto sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan oleh Jokowi.
Begitu juga Hendropriyono yang menjadi penasihat tim transisi di pemerintahan.
"Bagaimana mungkin aku bisa percaya Jokowi akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat? Yang rasional sajalah," ucap Suciwati.
Namun, beberapa anggota keluarga korban pelanggaran HAM berat tetap datang menemui Jokowi, di antaranya Sumarsih kasus Semanggi I dan ibunda dari Yun Hap kasus Semanggi II.
Keluarga kasus Trisakti, kasus penghilangan paksa 1997/1998, kasus Talangsari, dan kasus Tanjung Priok.
Jokowi saat itu didampingi Kepala Staf Kepresidenan Meoldoko, Jubir Kepresidenan Johan Budi, dan pejabat Sekretaris Negara.
Pendapat para keluarga korban pelanggaran HAM berat tidak langsung diterima. Jokowi menyebut akan mempelajari berkas yang diserahkan
"Dan untuk selanjutnya day by day, minggu ke minggu, bulan ke bulan, ibu saya minta menghubungi Pak Moeldoko," kata Suciwati menirukan Jokowi.
"Hasilnya tentu saja kosong alias bohong belaka. Terbukti sampai sekarang kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tetap tidak memperoleh keadilan," ujar Suci.
https://nasional.kompas.com/read/2022/09/19/21034401/cerita-istri-munir-keluarga-korban-pelanggaran-ham-berat-hanya-diundang-sby