JAKARTA, KOMPAS.com - Masa kepresidenan Abdurrahman Wahid hanya seumur jagung, yakni cuma 1 tahun 9 bulan, sejak 21 Oktober 1999 hingga dimakzulkan MPR pada 23 Juli 2001.
Dalam periode singkat itu, Gus Dur sempat ramai dikritik lantaran banyak melakukan perjalanan dinas mancanegara.
Pihak yang kontra dengan kebijakan itu menilai, Gus Dur boros dalam menggunakan anggaran negara.
Sementara itu, Presiden keempat ini punya pertimbangan tersendiri dalam melakukan lawatan ke luar negeri itu.
Ketika menjabat, di masa transisi dari Orde Baru ke Reformasi, Indonesia tengah mengalami ancaman disintegrasi. Gejolak politik terjadi di mana-mana. Dukungan internasional, termasuk membuka peluang kerja sama dengan negara-negara lain, dianggap berarti.
"Misi Gus Dur waktu itu adalah kita harus memperkenalkan Indonesia ini di kancah dunia. Setiap forum internasional, ada G15 waktu itu, KTT Non-blok, KTT OKI, kalau namanya summit atau KTT pasti hadir dia. Ada juga pertemuan pidato di general assembly PBB. Jadi di forum-forum internasional beliau berusaha tidak absen," ungkap kepala biro protokoler era Gus Dur, Wahyu Muryadi, kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.
Wahyu mengungkapkan, dalam forum-forum itu, Gus Dur coba memperkenalkan sikap Indonesia terhadap pelbagai isu global yang sedang hangat.
"Beliau selalu menekankan martabat kita sebagai bangsa harus mengemuka di kancah internasional," ucapnya.
Lebih dari itu, dalam aneka pertemuan dengan kepala-kepala negara, Gus Dur selalu menyelipkan humor-humor yang berhasil membuat persahabatannya dengan kepala negara terjalin begitu cepat.
Gus Dur, kata Wahyu, ingin agar Indonesia kembali menjadi kekuatan yang diperhitungkan di kancah dunia.
"Bagaimana Indonesia bisa ada pergandengan dengan India, China, di luar hegemoni kekuasaan dunia oleh negeri-negari adikuasa, biar Indonesia bisa take a lead di situ," lanjutnya.
Agenda Gus Dur yang padat
Inayah Wulandari, putri bungsu Gus Dur, mengakui bahwa jadwal dinas mancanegara ayahnya begitu padat.
Ia langsung menggeleng-gelengkan kepala ketika ditanya wartawan Kompas.com mengenai seberapa letih perjalanan tersebut bagi rombongan.
"Ada satu momen suatu hari bapak melakukan kunjungan kenegaraan keliling ASEAN, berarti 9 negara, minus Indonesia, itu dalam waktu 5 hari. Jadi kami bisa makan pagi di Malaysia, makan malam di Singapura," kata Inayah di kediamannya di Ciganjur, Jakarta Selatan.
"Itu benar-benar kayak lari-lari kayak maraton. Isinya meeting, meeting, meeting, dan meeting ya, isinya bukan jalan-jalan, bukan foto-foto di mana," tambahnya.
Ia mengakui, sejak lama, ayahnya memang workaholic. Namun, dalam mengebut perjalanan dinas mancanegara ini, Gus Dur, kata Inayah, barangkali telah memahami bahwa waktunya sebagai presiden tidak akan lama.
Berbagai perubahan fundamental yang dilakukannya dengan menerobos sejumlah tabu politik membawa risiko besar bagi jabatannya.
Terbukti, sejarah mencatat, Gus Dur dilengserkan oleh proyek politik kekuatan-kekuatan lama yang merasa terancam oleh kebijakan-kebijakan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu.
"Kami tuh benar-benar sudah kecapekan banget (selama perjalanan luar negeri). Sementara itu, Bapak yang kayak, 'Ayo, mana nih, sudah mesti berangkat, nih!'. Staminanya enggak pernah turun," ungkap Inayah.
Setali tiga uang, Wahyu juga punya cerita senada. Ia langsung berpindah posisi duduk dan mengernyitkan dahi ketika dihadapkan pada pertanyaan, seberapa lelah menemani Gus Dur dinas mancanegara.
"Tujuh belas hari di 16 negara. Bayangin coba. Ada buku perjalannya masih saya simpan," kata dia.
"Pagi itu berangkat subuh dari Paris, saya masih ingat itu dari Hotel Nikko di Paris, hotel kecil, sarapan di Paris. Kemudian makan siang di Roma. Makan malam di Bonn. Kemudian besoknya itu ke Berlin sarapan," kenang Wahyu.
Dalam perjalanan yang dituding sebagai pemborosan uang negara itu, justru Gus Dur dkk "menjual" kursi kosong si pesawat kepresidenan yang kala itu menggunakan pesawat pabrikan Boeing.
"Boeing 747 kalau tidak salah. Isinya kan kira-kira 300-400 (kursi), hanya diisi presiden, perangkat kepresidenan, wartawan, pengamanan, paling hanya 100 orang," ujar Wahyu.
Menteri Luar Negeri saat itu, Alwi Shihab, disebut menawarkan agar sisa kursi dijual ke pengusaha yang ingin ikut serta. Uangnya masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Menurut catatan Wahyu, sedikitnya 85 pengusaha turut terbang bersama Gus Dur.
"Ada Aburizal Bakrie, ada Muryanti Soedibyo," kata Wahyu.
"Saya ingat itu 2.500 dolar per orang. Lumayan untuk mengurangi biaya avtur. Kan mahal itu perjalanan. Dia bayar 2.500 dolar itu untuk katakanlah biaya ganti pesawat aja, nebeng pesawat, tiket saja, tapi hotelnya, makanannya, akomodasi lainnya tanggung jawab masing-masing," tuturnya.
Wahyu berkisah, Gus Dur tak pernah kelelahan dalam menjalani misi ini. Yang ia ingat, Gus Dur yang doyan menjelajah kuliner justru pernah menegur Wahyu karena masih saja disuguhi nasi di negeri orang.
"Di luar negeri malah kadang saya tanya, ada evaluasi atau tidak, Gus, untuk makanan dari KBRI, makanan Nusantara," kata Wahyu.
"Dia ngomong, 'Jangan dikit-dikit nasi lagi, Yu, Yu. Kalau kita ke luar negeri, cari makanan khas di luar negeri itu, pikiranmu sego (nasi) saja," tutupnya.
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/25/11545551/kisah-dinas-luar-negeri-gus-dur-sarapan-di-paris-siang-makan-di-roma-malam