KOMPAS.com – Pemerintah terus menggodok Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Proses pembuatan KUHP yang baru ini memakan waktu yang tidak sebentar. Butuh puluhan tahun hingga RKUHP akhirnya rampung sebentar lagi.
Namun, sampai saat ini, masih ada pro dan kontra terhadap RKUHP di masyarakat.
Bagaimana pro kontra masyarakat terhadap RKUHP?
Pro dan kontra terhadap RKUHP
Pihak-pihak yang pro dengan RKUHP menilai KUHP baru harus segera disahkan.
KUHP yang ada saat ini dinilai sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu, KUHP yang digunakan sekarang juga dianggap tidak memiliki kepastian hukum.
Hal ini dikarenakan sejak merdeka, pemerintah belum menetapkan terjemahan resmi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI), nama asli KUHP.
Akibatnya, multitafsir rentan terjadi dikarenakan pemaknaan KUHP yang berbeda-beda
Tak hanya itu, sebagai bangsa yang merdeka, pihak yang pro dengan RKUHP menganggap sudah seharusnya Indonesia memiliki induk peraturan hukum pidana yang dibuat sendiri.
Untuk diketahui, WvSNI merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) yang telah diberlakukan di Belanda sejak 1886.
WvSNI diberlakukan di Indonesia sejak 1918. Saat itu, Indonesia yang dijajah Belanda masih bernama Hindia Belanda.
Angin segar KUHP baru muncul saat pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyerahkan RKUHP pada DPR tahun 2012.
DPR periode 2014-2019 kemudian menyepakati draf RKUHP dalam pengambilan keputusan tingkat pertama.
Namun, gelombang protes terhadap sejumlah pasal muncul di masyarakat, termasuk dari para pegiat hukum dan mahasiswa.
Para pihak yang kontra menilai terdapat sejumlah pasal karet di dalam RKUHP. Pasal-pasal ini berpotensi menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Pada September 2019, Presiden Joko Widodo yang menggantikan SBY memutuskan untuk menunda pengesahan RKUHP dan memerintahkan peninjauan kembali pasal-pasal yang bermasalah.
Anggota DPR lalu secara resmi kembali melanjutkan pembahasan RKUHP bulan pada April 2020. Pembahasan pun terus bergulir hingga saat ini.
Secara umum, tidak ada perubahan substansi di dalam draf RKUHP yang disetujui pada tahun 2019. DPR menargetkan RKUHP disahkan bulan Juli 2022.
Namun, RKUHP kembali batal disahkan karena pemerintah masih melakukan sejumlah perbaikan dalam RKUHP.
Hingga kini, penolakan terhadap sejumlah pasal RKUHP yang dianggap bermasalah pun masih terjadi.
Pasal kontroversial di dalam RKUHP
Salah satu yang menjadi sorotan adalah pasal tentang penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden atau wakil presiden.
Pemerintah menegaskan pasal ini perlu dipertahankan agar ada batasan dalam kebebasan berpendapat sehingga perilaku masyarakat tetap beradab.
Pemerintah pun memastikan adanya pasal ini tidak akan mengurangi hak masyarakat untuk berpendapat atau mengkritik kebijakan presiden dan pemerintah.
Aturan ini dibuat agar pendapat dan kritik yang disampaikan tidak bersifat menyerang harkat dan martabat presiden dan wakilnya.
Pemerintah juga mengusulkan agar pasal ini bersifat delik aduan dan bukan lagi delik biasa. Ancaman terhadap pelaku adalah paling lama 3,5 tahun penjara.
Namun, bagi sebagian pihak, pasal penghinaan presiden ini dinilai rentan digunakan untuk menyerang pihak-pihak yang berseberangan dengan kekuasaaan.
Pasal ini dianggap sebagai pasal karet karena dapat menimbulkan tafsir sesuka hati.
Pasal lain yang dianggap krusial, yakni terkait dengan penghinaan terhadap pemerintah yang sah serta penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara.
Pasal ini dianggap dapat mengancam kebebasan berpendapat karena berpotensi menimbulkan multitafsir dan kesewenang-wenangan.
Selanjutnya, adalah pasal yang mengatur tentang hukum yang hidup di masyarakat.
Berdasarkan pasal ini, masyarakat dapat dipidana jika melanggar hukum yang berlaku di suatu daerah. Pasal ini pun dikhawatirkan akan memunculkan potensi kriminalisasi.
Referensi:
https://nasional.kompas.com/read/2022/07/05/00400071/pro-kontra-rkuhp