Driyarkara melihat potensi besar Pancasila untuk seluruh bangsa Indonesia. Bukan sebagai ideologi sempit yang bermaksud mengarahkan dan membawa orang kepada tujuan politik belaka, terpisah dari hidup biasa sehari-hari orang, tetapi sebagai filsafat dan dasar religiositas milik bersama bangsa Indonesia yang senantiasa dapat dikembangkan bersama (hal.xi).
Pemikiran Driyarkara seolah mengingatkan kita, jangan pisahkan Pancasila dari kehidupan sehari-hari.
Tak dipungkiri ada kenyataan bahwa banyak orang yang menganggap Pancasila sekadar hafalan sehingga lupa untuk dihayati dan dipraktikkan sehari-hari. Dalam konteks ini, Pancasila "terpisah dari hidup biasa sehari-hari".
Kalau kita baca di buku itu, serentetan pemikirannya mengajak kita untuk membuat mudah menjalankan Pancasila dalam keseharian.
Salah satu pemikiran dari Driyarkara, bagi orang-orang biasa dalam hidup sehari-hari tegakkan sikap demokratis.
Secara sederhana, hidup demokratis berarti mengakui dan menerima tiap manusia atau sesama sebagai saudaranya.
Hal ini berlaku dalam tiap kerja sama, dalam pergaulan sehari-hari, serta dalam setiap perjumpaan.
Ada saja orang yang merasa lebih luhur, mau selalu memerintah, mau menguasai, ingin mendominasi, main kepala besar, dan gila hormat.
"Terimalah tiap-tiap orang sebagai sesama, sebagai saudara". Inilah pedoman yang sangat praktis untuk hidup sehari-hari. Dari rasa persaudaraan ini akan melahirkan cinta kasih kepada sesama.
Apa yang dikemukakan Driyarkara itu jika diringkas menjadi "memanusiakan manusia". Kita memandang sesama sebagai manusia. Bukan homo homini lupus, sebagaimana pernyataan Thomas Hobbes.
Bagi Hobbes, kodrat manusia bersifat egois, mau menang sendiri dan akhirnya individual. Hobbes menyimbolkan dalam bentuk "lupus" atau serigala.
Dalam penyimbolan "lupus" ini bisa dibayangkan betapa kejamnya satu manusia dengan manusia lain. Saling terkam, saling seruduk. Tak ada nilai "memanusiakan manusia".
Maka dalam masyarakat lupus ini terjadilah pengingkaran nilai Pancasila. Misalkan saja, gara-gara ingin berkuasa, teman sendiri disingkirkan.
Mau cara seruduk? Mau cara terkam? Apapun cara, intinya ibarat lupus tadi. Atau bisa kita lihat sekelompok warga dimarjinalkan demi mewujudkan sebuah proyek pencitraan.
Oleh karena itulah Driyarkara tak sepaham dengan Hobbes. Bagi Driyarkara manusia adalah teman bagi sesamanya, homo homini socius. Jelas, Driyarkara mengajarkan "memanusiakan manusia". Dan ajaran ini bisa digali dalam Pancasila.
Terkadang kita acap bingung, memahami sebuah pemikiran, namun bagaimana mempraktikkannya?
Kita paham, sesama kita adalah teman bagi sesamanya, tetapi bagaimana kita merangkul orang lain untuk menjadi kawan?
Driyarkara menyatakan manusia hanya bisa berkembang sebagai manusia dengan dan dalam bersatu dengan sesamanya.
Menurut kodratnya, dia adalah socius, kawan. Jika tidak menjadi kawan, dia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia.
Maka, adalah kewajiban manusia untuk saling menerima sebagai socius atau saudara. Salah satu dari kondisinya ialah jika membagi-bagikan kekayaan dengan cara yang sedemikian rupa sehingga kawan bisa hidup secara pantas sebagai kawan kita.
Ini artinya ada kepedulian. Dari sinilah memulai memupuk perkawanan dengan sesama, saling peduli.
Sikap peduli membangun persaudaraan dengan sesama. Sebab, dari peduli inilah kita tahu kondisi sesama di sekitar kita.
Itu baru satu pemikiran Driyarkara. Sejatinya banyak lagi pemikiran Driyarkara tentang Pancasila ini.
Lautan pemikiran Driyarkara, sekaligus menegaskan betapa kaya Pancasila itu. Maka dari itu, kita selayaknya tahu cara bagaimana menjunjung tinggi dan mengamalkan Pancasila.
https://nasional.kompas.com/read/2022/06/01/06400051/ketika-pancasila-memanusiakan-manusia