Salin Artikel

Akali Demokrasi, Peralat Konstitusi

Konstitusi melarang presiden Rusia menjabat lebih dua periode. Putin tunduk pada konstitusi.

Dari 2008 hingga 2012, Putin menjadi Perdana Menteri dan Medvedev jadi Presiden. Di periode Medvedev inilah Konstitusi diamanedemen: membolehkan presiden lebih dari dua kali.

Maka, Putin naik lagi jadi presiden pada tahun 2012, menggantikan Medvedev. Puaskah Putin? Sama sekali tidak.

Tahun 2020, hasil referendum di Rusia, menyetujui amandemen konstitusi bahwa masa jabatan presiden bukan lagi empat tahun, tetapi enam tahun.

Dalam amandemen tersebut, Putin bisa maju terus bukan hanya dua periode, tetapi empat periode.

Artinya, Putin bisa menjadi presiden dalam 24 tahun ke depan. Ini sah secara konstitusional.

Presiden Filipina, Ferdinand Marcos, yang berkuasa di negaranya selama 21 tahun, juga memiliki kiat untuk mempertahankan kekuasaan.

Menghadapi rakyat yang tidak menyenanginya, pada tanggal 23 September 1972, ia memberlakukan darurat militer, yang memungkinkan presiden berbuat apa saja.

Konstitusi dibuat untuk melegitimasi syahwat kekuasaannya tanpa batas waktu.

Suharto, berkuasa selama 32 tahun, mempertahankan kekuasaan, justru sama sekali tidak menyentuh Konstitusi.

Ia malah akan menghukum siapa saja yang membicarakan perubahan Konstitusi. Suharto menjadikan UUD 1945 sebagai barang sakral yang tidak boleh diutak-atik.

Ia mempertahankan kekuasaanya puluhan tahun karena ketika itu, Konstitusi kita memang tidak secara eksplisit membatasi periode presiden. Suharto mempertahankan kekuasaannya tanpa amandemen.

Model Putin dan Marcos, adalah mengubah Konstitusi untuk kekuasaan tanpa tepian. Model Suharto, mempertahankan Konstitusi demi kekuasaan absolut.

Kedua pendekatan tersebut, mengakali demokrasi, memperalat Konstitusi.

Singkat kisah, berbagai kiat yang dilakukan sejumlah pemimpin untuk mempertahankan kekuasaannya.

Semuanya selalu mempertahankan citranya bahwa kekuasaan mereka memiliki legitimasi yuridis yang sangat valid karena tindakan mereka didasarkan pada Konstitusi.

Namun, mereka alpa bahwa jalur formal yuridis acapkali membawa defisit dalam necara moral. Ketiga cara di atas, semuanya membuat pemimpin tersebut jadi diktator dan dibenci rakyat.

Bagaimana sekarang?

Dalam praktik di dunia ini, ada dua cara yang dipakai untuk mengubah Konstitusi. Pertama, pembaharuan Konstitusi, yang bermakna, keseluruhan Konstitusi diubah. Konstitusi barulah yang dipakai.

Ini pada umumnya dipakai di negara-negara Eropa kontinental, seperti Perancis, Jerman dan Belanda.

Kedua, Konstitusi mengalami amandemen (perubahan). Ini banyak dilakukan di negara-negara Anglo Saxon, seperti Amerika Serikat, termasuk Indonesia.

Bedanya, melakukan Amandemen di negeri kita, sangat sederhana, mudah dimainkan karena cukup dengan 2/3 persetujuan jumlah anggota MPR.

Di Amerika Serikat, amandemen Konstitusi cukup ribet karena selain melalui mekanisme Kongres/Senat, juga harus ada tim khusus, lalu dibawa ke parlemen negara-negara bagian.

Maknanya, jangan Konstitusi diamandemen hanya untuk kepentingan kekuasaan belaka.

Riuh dan gemuruh di republik sekarang ini, seolah tidak belajar dari kisah tiga pemimpin di atas.

Keinginan untuk menunda pemilihan umum, apa pun motifnya, ujung-ujungnya adalah kediktatoran.

Kekuasaan yang tidak tunduk pada pembatasan yang rigid, pasti akan berahir secara mengenaskan.

Konstitusi memang bisa diubah, namun niat untuk mengubahnya lantaran syahwat kekuasaan yang hendak dipertahankan, pada gilirannya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang korup dan tiran absolut.

Pemilihan umum yang hendak diundur, hanya bisa dilakukan bila Konstitusi diamandemen. Pengunduran jadwal pemilihan umum berarti memperpanjang masa kekuasaan, apa pun dalihnya.

Pada saat masa kekuasaan diperpanjang, saat itu jugalah pintu menjadi tiran, sudah terbuka lebar.

Betapa tidak, kata Robert Dahl, demokrasi hanya bisa tegak bila ada sirkulasi elite secara periodik.

Dengan demikian, rakyat tahu kapan memilih siapa untuk memimpin mereka. Rakyat tidak didadak dengan ketidakpastian.

Sirkulasi kekuasaan secara periodik, bermakna, memberi peluang kepada yang lain, untuk juga ikut memiliki peluang berkuasa. Bukan yang itu-itu saja.

Di sinilah eloknya demokrasi karena ia membuka akses bagi siapa pun.

Makanya, Winston Churchil tegas mengatakan: “Demokrasi memang mungkin bukan sistem yang terbaik, tetapi hingga sekarang, ia masih jauh lebih baik dari sistem yang lain.”

Itulah sebabnya, demokrasi tidak memerlukan kultus individu yang dianggap sebagai mahluk super, karena itu, harus diberi kesempatan terus menerus berkuasa.

Demokrasi memerlukan sirkulasi supaya rakyat memiliki pilihan bebas dengan periode waktu tertentu.

Sekali lagi, mari kita belajar dengan kejadian masa silam, ketika Suharto ramai-ramai dikultuskan sebagai “Bapak Pembangunan.”

Ia dianggap sebagai pelopor pembangunan infrastruktur di negeri ini. Suharto dipersepsikan sebagai sang super, dan karena itu, kita beri kesempatan berkuasa terus menerus.

Akibatnya, Suharto jatuh secara menyakitkan, lalu rakyat sungguh-sungguh berpaling darinya. Suharto dinista rakyat karena kekuasaannya selalu dipaksakan untuk diperpanjang.

Tahun lalu, bahkan sebelumnya, sudah muncul wacana mengubah Konstitusi untuk memperpanjang masa kepresidenan menjadi tiga periode. Reaksi masyarakat untuk menolaknya, sangat kencang.

Lalu, muncul gagasan memperpanjang masa kepresidenan dengan cara menambah dua tahun. Pilihan mana pun dipakai, tetap harus melalui mekanisme amandemen Konstitusi.

Presiden Jokowi sendiri berkali banyak mengatakan: “Tidak berniat memperpanjang masa jabatannya. Ia tunduk pada Konstitusi.”

Kini, muncul lagi gagasan untuk menunda jadwal pemilu. Bukan lagi sekadar masa jabatan presiden yang diperpanjang, tetapi jabatan masa para anggota legislatif juga ikut diperpanjang.

Di sinilah pintunya karena anggota legislatif yang memiliki kewenangan melakukan amandemen Konstitusi, sebagian sudah menyetujuinya.

Ini menyangkut kepentingan mereka juga, karena menunda pemilu berarti memperpanjang masa kerja.

Tidak usah capek-capek membujuk masyarakat untuk memilih mereka dalam waktu dua tahun ini.

Satu hal yang terlupakan, para partai politik yang mendukung penundaan pemilu karena kepentingan elite para partai tersebut, akan menjadi bumerang bagi para partai politik tersebut.

Dengan sikap yang setuju penundaan pemilu, rakyat akan memberi vonnis pada para partai politik yang tidak menyalurkan keinginan rakyat.

Hukuman terberat bagi partai politik akan terjadi manakala rakyat sudah berpaling darinya. Rakyat tidak mau memberikan suaranya lagi.

Nelson Mandela, terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan pada tahun 1994. Ia sungguh-sungguh seorang legend, pemimpin yang penuh kharisma, tidak sekadar di teritori Afrika, tetapi dunia.

Hadiah Nobel perdamaian pun diraihnya, dan berbagai penghargaan dunia disandangnya.

Di saat rakyat sedang memuja dan tetap membutuhkan kepemimpinannya, dan Konstitusi Afrika Selatan tetap membuka peluang buat dirinya, namun, secara mengagetkan, pada tanggal 28 Maret 1999, ia berpidato dan mendeklarasikan bahwa ia tidak mau maju lagi jadi presiden.

Cukup buat saya, katanya. Berikan juga peluang kepada yang lain. Sikap Mandela inilah yang justru kian membuat ia menjadi the true legend.

Dalam hati saya sekarang ini, ada baiknya para politisi dan pemimpin kita, belajar dari sikap Mandela.

Berhenti di saat rakyat mengaguminya. Bukan berhenti di saat rakyat sudah tidak menyenanginya.

https://nasional.kompas.com/read/2022/03/24/11560081/akali-demokrasi-peralat-konstitusi

Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke