JAKARTA, KOMPAS.com - Dua anggota polisi terdakwa kasus unlawful killing laskar Front Pembela Islam (FPI), Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella, dijatuhi vonis lepas.
Vonis itu diputuskan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada persidangan yang digelar Jumat (18/3/2022).
Putusan tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang meminta keduanya dijatuhi vonis 6 tahun penjara.
Majelis hakim dalam putusannya menyatakan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan hingga menyebabkan orang meninggal dunia.
Namun, kedua terdakwa tidak dijatuhi hukuman karena alasan pembenaran atau pemaaf, merujuk pleidoi atau nota pembelaan kuasa hukum.
"Menyatakan kepada terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena adanya alasan pembenaran dan pemaaf," kata hakim ketua Muhammad Arif Nuryanta dalam persidangan, Jumat (18/3/2022).
Majelis hakim menyatakan bahwa penembakan itu merupakan upaya membela diri. Maka, pada kedua terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana.
"Menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagai dakwaan primer penuntut umum dalam rangka pembelaan terpaksa melampaui batas," jelas hakim ketua.
Dengan demikian, majelis hakim memutuskan melepaskan kedua terdakwa dari tuntutan hukum dan memulihkan kedudukan, hak, dan martabatnya.
Berkaca dari kasus ini, apa yang dimaksud dengan alasan pembenaran atau pemaaf dalam vonis lepas?
Definisi vonis lepas
Vonis lepas merupakan satu dari tiga putusan pengadilan yang dapat dijatuhkan majelis hakim kepada terdakwa.
Menurut angka 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981, vonis majelis hakim bisa berupa 3 bentuk yakni putusan pemidanaan, putusan bebas, atau putusan lepas.
"Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini," demikian bunyi aturan tersebut.
Perihal putusan lepas dan bebas juga diatur dalam Pasal 191 KUHAP.
Ayat (1) pasal tersebut berbunyi, "Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas".
Kemudian, pada Pasal 191 Ayat (2) disebutkan, "Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum".
Sementara, pada penjelasan Pasal 191 Ayat (1) dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan" adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
Mengenal alasan pembenaran atau pemaaf
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, vonis lepas berarti terdakwa terbukti telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dihukum karena ada alasan pemaaf atau penghapus pidana.
"Sehingga pelakunya tidak dapat dihukum," kata Fickar kepada Kompas.com, Jumat (18/3/2022).
Alasan pemaaf atau penghapus sendiri bisa bermacam-macam. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang termasuk alasan penghapus atau pemaaf yakni:
Dalam hal alasan pemaaf adalah melaksanakan ketentuan undang-undang, Fickar mencontohkan, tindakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menertibkan pedagang kaki lima dengan merusak barang milik mereka.
Sementara, alasan pemaaf karena melaksanakan perintah jabatan misalnya pelaksana hukuman mati.
Tak bisa banding
Fickar menambahkan, dalam suatu kasus yang mana majelis hakim menjatuhkan putusan lepas atau bebas, penuntut umum maupun terdakwa tidak bisa mengajukan banding, tetapi langsung kasasi.
"Artinya putusan lepas atau bebas sudah tidak bisa diperiksa lagi faktanya (di pebgadilan tinggi), tetapi harus diperiksa penerapan hukumnya atau kasasi di MA," kata dia.
Unlawfull killing laskar FPI
Kasus unlawfull killing laskar FPI sendiri berawal dari insiden penembakan yang terjadi di Tol KM50 Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020.
Ini bermula dari tidak hadirnya Muhamad Rizieq Shihab dalam pemeriksaan sebagai saksi terkait kasus pelanggaran protokol kesehatan untuk kedua kalinya.
Polda Metro Jaya pun menerima informasi dari masyarakat dan media sosial yang menyebut bahwa simpatisan Rizieq Shihab bakal menggeruduk Mapolda Metro Jaya serta melakukan aksi anarkistis.
Oleh karenanya, Polda Metro Jaya memerintahkan sejumlah anggotanya, yakni Briptu Fikri R, Ipda M Yusmin, Ipda Elwira Priadi, Aipda Toni Suhendar, Bripka Adi I, Bripka Faisal KA, dan Bripka Guntur P guna menyelidiki rencana penggerudukan tersebut.
Dalam kegiatan penyelidikan, anggota kepolisian mendapatkan perlawanan dan tindakan kekerasan dari pihak anggota Laskar FPI. Baku tembak menyebabkan dua laskar FPI yaitu Ahmad Sukur dan Andi Oktiawan meninggal dunia.
Ipda Yusmin, Briptu Fikri, serta Ipda Elwira kemudian melakukan pengejaran.
Ketiganya berhasil melumpuhkan empat anggota FPI lainnya yakni Muhammad Reza, Akhmad Sofiyan, Luthfi Hakim, dan Muhammad Suci Khadavi.
Keempat anggota FPI itu lantas dimasukkan ke mobil Daihatsu Xenia dengan nomor polisi B-1519-UTI untuk dibawa dan dimintai keterangan di Polda Metro Jaya.
Namun, di dalam perjalanan, keempat laskar FPI tersebut melalukan perlawanan. Polisi pun melakukan pembelaan dengan menembak keempatnya hingga tewas.
Sebelum persidangan berjalan, jumlah tersangka dalam perkara ini mulanya ada tiga. Namun, satu tersangka, yakni Ipda Elwira Priadi Z, meninggal dunia pada 4 Januari 2021 sehingga penyidikan terhadap dirinya dihentikan.
Atas vonis lepas ini, terdakwa Briptu Fikri dan Ipda Yusmin menyatakan menerima. Sementara, jaksa penuntut umum mengajukan pikir-pikir.
https://nasional.kompas.com/read/2022/03/19/10140271/kasus-unlawful-killing-penembakan-laskar-fpi-apa-itu-alasan-pemaaf-dalam