Salin Artikel

85 Derajat Vs 2,7 Derajat, Kisah antara Mafia Pajak dan Keluarga Muda Asal Pekalongan Feti Iraningsih

TULISAN ini tidak mengupas soal posisi geografis suatu lokasi berupa lintang derajat tetapi hanya membahas fenomena hidup yang apa adanya dengan hidup yang ada “apanya”.

Saya hanya ingin belajar lebih dalam lagi mengenai pemaknaan hidup yang masing-masing orang tentu berbeda satu dengan yang lainnya. Yang jelas, cukup besar sekali perbedaan antara 85 dengan 2,7!

Kisah seorang ibu rumah tangga dari Pekalongan, Jawa Tengah, yang bernama Feti Iraningsih akhir-akhir menjadi viral. Berkat unggahannya di salah satu linimasa, Feti membuat pengakuan yang “mencengangkan” bagi kehidupan orang “kota”.

Setiap bulannya, gaji Feti yang digabung dengan pendapatan suaminya mencapai jumlah Rp 2,7 juta. Menjadi viral karena dengan total dana “segitu”, Feti bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya.

Mulai dari kewajiban membayar cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) anak tunggalnya, langganan listrik dan pembelian kuota dan lain-lain yang totalnya berjumlah Rp 1,55 juta.

Kebutuhan wajib lainnya, Feti menyisihkan lagi untuk membeli beras, gas, belanja bulanan, belanja mingguan hingga perlengkapan anak yang mencapai Rp 790.000. Selain itu, masih ada lagi pos pengeluaran untuk transportasi berupa bensin untuk motor dan jajan anak.

Dari semua pengeluaran tersebut, pendapatan Feti bersama suaminya masih tersisa Rp 170.000. Uang inilah yang digunakan untuk dana darurat, sedekah dan lainnya. 

Banyak netizen yang tidak mempercayai pengeluaran keluarga muda dari Pekalongan ini. Sebaliknya, Feti tetap tidak mempedulikan keheranan netizen mengingat dirinya setiap bulannya membuat Rencana Keuangan Keluarga (RKK).

Menurutnya, RKK ini penting untuk memprioritaskan pengeluaran wajib terlebih dahulu dan mencegah agar “tidak lebih besar pasak daripada tiang”.

Menurut Feti, kiat untuk mencukupkan pengeluaran dengan pendapatan adalah tidak mengutamakan gengsi untuk kehidupan berumah tangga. Hal yang membuat pengeluaran besar sebenarnya adalah gengsi. Untuk hidup sebenarnya murah. Yang berbiaya mahal justru memuaskan rasa gengsi.

Inilah yang saya maksudkan dengan 2,7 derajat. Dengan hidup sederhana tanpa mengejar gengsi, keluarga muda dari Pekalongan ini justru ”kaya” dalam memaknai kehidupan.

Kisah 85 Derajat yang Bertolak Belakang

Kisah kehidupan lain, saya akan nukilkan kisah nyata dari Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Panak yang bernama Angin Prayitno Aji. Kepangkatan Angin yang termasuk eselon II berimbas atas tunjangan kinerja sebesar Rp 81.940.000.

Apabila ditotal dengan gaji pokoknya sebagai Pegawai Negeri Sipil, maka kumulatif yang diterima saban bulannya mencapai Rp 85 juta lebih.

Itu pun belum menghitung pendapatan dari tunjangan yang melekat seperti tunjangan istri, tunjangan anak, uang makan, tunjangan jabatan hingga perjalanan dinas (Kompas.com, 11 November 2021). Inilah yang saya maksudkan dengan 85 derajat di judul tulisan yang saya buat.

Berbeda dengan pasangan muda dari Pekalongan yang bahu membahu antara suami istri hanya sanggup mengumpulkan Rp 2,7 juta setiap bulannya, justru Angin Prayitno mengalami “kekurangan”. Buktinya Angin masih harus “berjibaku” memalak wajib pajak dengan serangkaian “pat gulipat” untuk mendapatkan tambahan penghasilan.

Angin bersama koleganya di Direktorat Jenderal Pajak didakwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima suap sebesar Rp 57 milyar dari tiga perusahaan yang memanipulasi tagihan pajak.

Ketiganya perusahaan besar, bahkan salah satunya dimiliki Haji Isam yang beberapa waktu lalu perusahaan biodiselnya di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Kompas.com, 21 Oktober 2021).

Ketiga perusahaan yang direkayasa laporan pajaknya oleh Angin Prayitno bersama kaki tangannya meliputi PT Jhonlin Baratama, PT Gunung Madu Plantations serta PT Bank Panin.

Dari Jhonlin Baratama, didapat uang pelicin 3 juta dolar Singapura, dari Gunung Madu Plantations mendapat kepretan Rp 15 miliar serta dari Bank Panin ditilep 500 ribu dollar Singapura.

Di Mana Fungsi Inspektorat Kemenkeu?

Menelisik kasus-kasus yang melibatkan Angin Prayitno sebetulnya cukup mudah. Jika Direktorat Jenderal Pajak bisa meneropong ketidakcocokan profil pajak dengan pendapatan dan penghasilan wajib pajak, kenapa hal ini tidak berlaku untuk pegawai Kemenkeu?

Sepertinya adagium belati tajam untuk orang lain tetapi mejan untuk diri sendiri pantas disandang oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pada khususnya dan Kementerian Keuangan pada umumnya.

Jauh sebelum kasus mafia pajak Angin Prayitno tersingkap, bau tidak sedap Angin sudah tercium KPK di November 2018 dalam kasus suap di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ambon.

Jelang masa pensiunnya, Angin yang alumni S-1 Universitas Krisnadwipayana itu masuk di jajaran pejabat teras dan profilnya sebagai Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak masuk di website resmi Kementerian Keuangan. Profilnya lenyap seiring terkuaknya aksi “kongkalingkongnya” dengan wajib pajak besar.

Profil kekayaan Angin Prayitno pun juga mengundang decak. Dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Angin Prayitno yang diunggah KPK, harta kekayaan Angin meningkat drastis sejak 2015.

Kekayaan Angin mencapai Rp 18 miliar lebih. Dan semua sudah mahfum, pelaporan harta kekayaan para pejabat selalu “dibuat kecil” yang di mata awam menjadi bahan candaan.

Andai saja Inspektorat menjalankan fungsinya dengan benar, tentu potensi uang negara yang hilang akibat permainan “nakal” orang dalam bisa diminimalisasi jika tidak sanggup menghilangkannya sama sekali.

Jika Anda punya kenalan pegawai pajak, lihat saja sebagian di foto profil Whatsapp-nya selalu santun dan menampilkan kesederhanaan dalam hidup. Ini terutama yang saya kenal. Kerap menampilkan bisnis sampingan seperti jualan kain atau makanan atau istrinya menjalankan usaha sampingan sebagai penjahit.

Sekali lagi tidak untuk men-judge. Mungkin keceplosan bicara, suatu ketika pegawai pajak yang saya kenal ini kerap membanggakan memiliki ratusan hektar kebun kelapa sawitnya di Sumatera, sementara saya juga tahu dia memiliki beberapa rumah di kompleks perumahan mewah di timur Jakarta.

Belum lagi jumlah kendaraan yang dimilikinya. Style mereka selalu merendah tetapi aset yang dimiliikinya tersebar di banyak daerah.

Untuk mencegah terjadinya “godaan” dan “silau” harta dari objek pajak yang diperiksanya, pemerintah sangat memperhatikan kesejahteraan pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Saya yakin, pemerintah tidak ingin pegawai pajak hidupnya miskin dan terjerat pinjaman online. Pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan merupakan pegawai negeri sipil (PNS) dengan tunjangan kinerja (tukin) tertinggi dibandingkan semua aparatur sipil negara di instansi pemerintah lainnya.

Tukin PNS Direktorat Jenderal Pajak diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2015. Tunjangan tertinggi yang dikenal dengan peringkat 27 mencapai Rp 117.375.000 untuk setiap bulannya. Selain tukin, mereka juga berhak menerima pendapatan lainnya seperti gaji pokok dan berbagai tunjangan melekat.

Di dalam Perpres itu diterangkan mengenai besaran tukin PNS Ditjen Pajak, mulkai dari peringkat jabatan 4 pelaksana hingga peringkat 27 pejabat struktural atau eselon I.

Struktur organisasi Kementerian Keuangan diatur dalam Perpres Nomor 28 Tahun 2015. Kepala Biro, Direktur, Kepala Pusat, Inspektur, Sekretaris Dirjen, Sekretaris Badan, Sekretaris Inspektur Jenderal adalah jabatan eselon IIA.

Kaki tangan Angin Prayitno di Ditjen Pajak bernama Dadan Ramdani merupakan Kepala Sub Direktorat termasuk pejabat struktural eselon IIIA. Besaran tukin untuk golongan ini Rp 46.478.000 setiap bulannya. Demikian juga kelompok mafianya Angin yang lain seperti Wawan Ridwan adalah Kepala Pelayanan Pajak Pratama Bantaeng, Sulawesi Selatan.

Untuk di tingkat menengah seperti penilai PBB muda saja sudah menerima tukin sebanyak Rp 21.567.900. Pemeriksa pajak muda Rp 25.162.550. Pemeriksa pajak penyelia Rp 22.235.150,

Pemeriksa pajak pelaksana Rp 13.320.562. Account representative tingkat III menerima Rp 13.986.750. Penilai PBB pelaksana mendapat Rp 12.432.525. Tukin cair setiap bulannya. Sekali lagi, ini belum termasuk tunjangan-tunjangan melekat lainnya.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2015, tukin bisa dibayarkan 100 persen pada tahun berikutnya selama satu tahun jika realisasi pajak mencapai 95 persen dari target penerimaan pajak.

Tukin dibayarkan 90 persen jika realisasi penerimaan pajak mencapai 90 hingga 95 persen. Jika realisasi pajak hanya mencapai 80 – 90 persen, maka tukin yang didapat hanya sebesar 80 persen.

Kemudian tukin dibayarkan 70 persen andai realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 70 sampai 80 persen. Dan tukin juga hanya diterima 50 persen jika realisasi penerimaan pajaknya kurang dari 70 persen.

Melihat dari besaran-besaran angka tukin, gaji serta tunjangan-tunjangan melekat lainnya yang diterima pegawai pajak saban bulannya, tidak ada yang membantah jika kesejahteraan pegawai pajak tidak hidup di bawah garis kemiskinan.

Inspektorat Kementerian Keuangan mau tidak mau harus “bekerja” lagi agar potensi penyalahgunaan wewenang di jajaran bawahannya tidak terjadi lagi. Angin Prayitno bersama kaki tangannya bisa berbuat leluasa karena hilangnya fungsi pengawasan sebagaimana mestinya.

Lagipula, kasus dengan modus yang sama dengan Angin Prayitno bukan kali pertama terjadi. Selalu berulang dan nilai kerugian negara sangat fantastis.

Kasus-kasus yang terjadi di Ditjen Pajak seakan mematahkan pameo: dengan kesejahteraan dan gaji yang tinggi bisa menghilangkan praktek korupsi.

Toh ternyata, garong-garong pajak yang berasal dari kalangan “dalam” seperti Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, Bahasyim Assifie, Muhammad Dian Irwan Nuqisra, Eko Darmayanto, Tommy Hendratno, Pargono Riyadi, Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho, Slamet Riyana, Wawan Ridwan, Dadan Ramdani, dan Angin Prayitno.

Jika reformasi kepegawaian di jajaran Ditjen Pajak tidak mampu mengurangi “penggarong-penggarong” dari dalam, ada baiknya perlu dipikirkan untuk merevisi aturan tukin yang “gila-gilaan” di lingkungan Ditjen Pajak.

Tetapi saya yakin, masih banyak pula pegawai Ditjen Pajak yang berbuat jujur dan amanah. Mereka sangat mensyukuri kesejahteraan dan gaji yang diterima dengan tetap bekerja “lempeng”.

Mereka yang busuk adalah oknum-oknum yang tidak tahu diri. Seperti Angin Prayitno misalnya, usai lulus dari S1 Universitas Krisnadwipayana mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan tingkat master di Concordia University, Kanada, dan tingkat dokroral di Universitas Padjadjaran.

Perlu juga Biro Kepegawaian Ditjen Pajak menghadirkan Feti Iraningsih, ibu muda dari Pekalongan yang berhasil “jungkir balik” mengelola pendapatan bersama suaminya sebesar Rp 2,7 juta sebagai motivator di acara-acara kepegawaian Ditjen Pajak.

Selama ini, pembicara-pembicara bertarif mahal untuk acara-acara motivasi di Ditjen Pajak gagal memberi perubahan paradigma yang baru.

Mensyukuri penghasilan yang halal, bekerja dengan hasil yang terbaik serta meresapi makna 85 derajat dengan 2,7 derajat dalam kehidupan. Setiap orang memiliki rezekinya masing-masing dan yakinlah tidak akan ada yang tertukar. (*Ari Junaedi adalah akademisi, konsultan komunikasi & kolomnis)

https://nasional.kompas.com/read/2021/11/13/17562331/85-derajat-vs-27-derajat-kisah-antara-mafia-pajak-dan-keluarga-muda-asal

Terkini Lainnya

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

Nasional
Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Nasional
Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Soal 'Presidential Club', Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Soal "Presidential Club", Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Nasional
Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Nasional
Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Nasional
Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Nasional
Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Nasional
Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke