Menurutnya, saat ini sama sekali tidak ada urgensi untuk melakukan amendemen terhadap UUD.
"Wacana ini justru melompati hasrat publik. MPR harus bergerak atas mandat publik, tapi ini hanya berangkat dari ruang pengkajian MPR, sehingga wacana ini terus muncul dan minim partisipasi publik," kata Rivanlee dalam diskusi daring yang disiarkan Youtube Kontras, Rabu (15/9/2021).
Rivanlee khawatir, amendemen UUD ini nantinya bernasib sama seperti UU Cipta Kerja yang pembahasannya minim partisipasi publik.
Ia pun berpendapat, rencana untuk mengatur ketentuan tentang Pokok-Pokok Haluan Negara lewat amendemen sebenarnya merupakan sebuah ironi.
Sebab, presiden memiliki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang telah disusun berdasarkan visi dan misi saat pencalonan. Sementara itu, mayoritas anggota DPR/MPR berasal dari partai koalisi Presiden Joko Widodo.
"Kalau tidak percaya dengan RPJMN berarti tidak percaya dengan visi dan misi presiden atau nawacita Jokowi. Karena RPJMN berangkat dari visi misi capres. Itu hal yang kontradiktif kalau MPR, yang banyak anggota parpol koalisi, justru berdebat perihal keberadaan PPHN," ujarnya.
Selain itu, menurut Rivanlee, persoalan konstitusi yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini masih berpusat di hal-hal sederhana.
Misalnya, dalam kasus penghapusan mural dan penangkapan terhadap warga yang membentangkan poster untuk menyuarakan aspirasinya.
Kemudian, hak atas kesehatan warga dalam penanganan pandemi Covid-19 juga belum terpenuhi secara maksimal.
"Kita masih disibukkan dengan hal-hal yang cukup sederhana yang menandakan bahwa negara tidak bisa memahami bagaimana konstitusi itu bekerja," tuturnya.
Karena itu, lanjut Rivanlee, jika wacana amendemen UUD ini terus bergulir dan terwujud, artinya MPR tidak mampu mengenali masalah yang sebetulnya saat ini terjadi di Indonesia.
https://nasional.kompas.com/read/2021/09/15/14400911/wacana-amendemen-uud-1945-mpr-diingatkan-harus-bergerak-sesuai-mandat-publik