JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab menyatakan, praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi di Indonesia sangat mengkhawatirkan.
Menurutnya, penyiksaan selalu terkait dengan kekuasaan dan proses hukum.
"Kalau kita bicara tentang praktik penyiksaan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya di Indonesia, ini kita sudah berada pada situasi yang sebenarnya sangat mengkhawatirkan," kata Amiruddin, dalam diskusi daring bertajuk Kenali dan Cegah Penyiksaan, Wujudkan Segera Ratifikasi OPCAT, Jumat (25/6/2021).
Menurut Amiruddin, praktik penyiksaan merupakan fenomena puncak gunung es. Artinya, penyiksaan yang dilaporkan ke Komnas HAM dan diberitakan media tidak menggambarkan jumlah sebenarnya.
Ia menduga, ada banyak kasus penyiksaan yang terjadi, namun tidak dilaporkan.
"Nah hal-hal yang (dilaporkan ke) Komnas HAM atau muncul di media hanya puncak gunung es saja," ujarnya.
Oleh karena itu, Komnas HAM bersama Komnas Perempuan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman, Komisi Perlindungan anak Indonesia (KPAI) mendorong penghentian praktik penyiksaan.
Selain itu, Pemerintah juga didorong untuk meratifikasi Optional Protocal Convention Against Tortutre (OPCAT) atau Protokol Operasional Menentang Penyiksaan yang dinilai sangat mendesak.
Di sisi lain, Ia berharap Kemenko Polhukam, Kemenkumham, Kemenlu, Polri, TNI hingga DPR bekerja sama dalam upaya menghapus praktik penyiksaan.
"Kenapa? mendesaknya ini berhubungan dengan martabat dan harkat manusia rakyat Republik Indonesia ketika ia berhadapan dengan proses hukum," ungkapnya.
Berdasarkan catatan LPSK, terdapat 118 permohonan perlindungan terkait kasus penyiksaan pada periode 2014 hingga 2020
Profesi pelaku penyiksaan terbanyak berasal dari anggota Polri, disusul TNI dan sipir lembaga pemasyarakatan.
Adapun praktik penyiksaan yang banyak dilakukan oleh polisi terjadi dalam tahap pengungkapan perkara dengan tujuan memperoleh pengakuan tersangka.
Sementara Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat 62 kasus penyiksaan dalam periode Mei 2019 hingga Juni 2020.
Pelaku yang paling dominan ialah polisi (48 kasus), disusul TNI sebanyak 9 kasus, dan terakhir sipir dengan 5 kasus.
Sementara, dari keseluruhan kasus yang terdata, terdapat 220 orang korban dengan rincian 199 luka-luka dan 21 tewas.
Adapun motif penyiksaan pada umumnya ialah untuk memaksa pengakuan korban (40 Kasus) dan sebagai bentuk penghukuman (23 kasus).
Kemudian, sebanyak 34 kasus terjadi di tempat umum sementara 29 kasus terjadi di sel tahanan.
Mayoritas kasus penyiksaan terjadi pada korban salah tangkap (47 kasus) dibandingkan pada kriminal (16 kasus). Penyiksaan kerap dilakukan menggunakan tangan kosong, yakni 49 peristiwa.
Terdapat pula peristiwa yang menggunakan benda keras, senjata api, listrik, dan senjata tajam untuk memberikan penderitaan kepada korban.
https://nasional.kompas.com/read/2021/06/25/13530991/komnas-ham-praktik-penyiksaan-di-indonesia-sangat-mengkhawatirkan