Salin Artikel

Mendengarkan (Kembali) Suara Rakyat

DEMIKIAN ungkap Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sebagaimana diberitakan oleh Kompas pada 20 Oktober 2014 atau bersamaan dengan hari pelantikannya sebagai Presiden Indonesia untuk pertama kalinya (Kekuasaan Untuk Rakyat, Kompas, 20 Oktober 2014).

Kalimat yang merupakan hasil wawancara secara langsung ini merefleksikan komitmen kuat dan pemahaman jernih presiden terhadap demokrasi yang esensinya adalah mendengar suara rakyat.

Komitmen ini sangat penting untuk kita ingat kembali untuk melakukan refleksi atas tahun 2020 dan mengawali tahun 2021 ini. Terlebih mengingat bahwa hingga pada tahun 2020 kemarin, berbagai studi dari dalam maupun luar negeri telah menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran yang teramat serius.

Para ahli menyepakati bahwa kemunduran demokrasi merupakan suatu proses yang berjalan secara perlahan yang ditandai dengan situasi di mana aktor politik secara perlahan berpaling dari nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokratis.

Mengapa kemunduran demokrasi terjadi?

Para ilmuwan bersepakat bahwa salah satu penyebab utamanya adalah situasi struktural adanya oligarki yang telah terbangun sejak masa Orde Baru yang kembali mengonsolidasikan diri selama reformasi yang puncaknya terjadi pemilu 2019.

Secara ringkas, oligarki dapat didefinisikan sebagai persekongkolan kelompok elite kaya dan berkuasa yang ingin terus mempertahankan kekayaan dan kekuasaannya dan membajak sitem demokrasi yang ada (Winters, 2010; Robison dan Hadiz, 2013).

Pintu masuk yang digunakan oleh elite oligarki adalah pemilihan umum yang diwarnai oleh politik kartel, politik dinasti, dan politik uang sehingga siapa pun yang terpilih akan memiliki utang budi pada elit oligarki ini dan harus kembali membayar kembali utang mereka baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ia bisa berupa posisi politik di pemerintahan yang akan dengan mudah kita lihat, maupun dengan kebijakan politik yang menguntungkan kaum elite yang lebih sulit untuk dilacak tanpa studi yang mendalam.

Maka, tidak mengherankan jika para ahli mengungkapkan bahwa, berbeda dengan masa dahulu di mana aktor utama kemunduran demokrasi adalah tantara, kini aktor utama kemunduran demokrasi itu justru pemimpin yang terpilih secara demokratis.

Konsolidasi oligarki usai pemilu 2019 inilah yang menjadi prakondisi struktural kita memasuki tahun pandemi 2020 yang menghasilkan tiga kebijakan yang kontroversial namun tetap dipaksakan untuk terus dilanjutkan: pemberlakukan new normal di tengah kurva pandemi yang masih meningkat tajam, pengesahan undang-undang cipta kerja di tengah kecaman berbagai kalangan dan pelaksanaan pilkada langsung juga di tengah kurva yang naik tajam dan terbukti makin meningkat usai pelaksanaan pilkada.

Kritik yang masif yang muncul dari masyarakat sipil terhadap tiga kebijakan di atas, setidaknya sebagaimana terefleksi di media sosial, tidak didengarkan oleh pemerintah namun justru berhadapan dengan serangan balik pasukan siber yang secara masif terorkestrasi untuk meredam kritisime yang muncul dan menggiring opini publik untuk berbalik mendukungnya.

Menghadapi kritik dengan pasukan siber ternyata tidak hanya dilakukan pada ketiga kebijakan di atas saja, namun telah dilakukan sejak revisi UU KPK yang terjadi pada September 2019 atau tidak lama setelah pemilu berakhir.

Itulah salah satu kesimpulan besar dari studi yang tengah dilakukan oleh LP3ES bekerjasama dengan Universitas Amsterdam dan KITLV Leiden tentang dinamika percakapan di media sosial terhadap kebijakan di atas.

Praktik penggiringan opini publik oleh pasukan siber itu dapat dilihat dari satu adanya "gelombang tsunami" percakapan di media sosial menjelang atau segera setelah pengesahan suatu kebijakan dengan volume yang sangat besar yang ada di luar kewajaran yang umumnya disuarakan oleh akun-akun anonim (buzzers) dan, bahkan, akun-akun robot (bots).

Baik kicauan buzzers dan robot lebih mengejar kuantitas semata untuk memadati ruang publik ketimbang bobot argumentasi. Satu temuan yang cukup mengejutkan adalah bahwa akun-akun ini ternyata bisa beroperasi pada lebih dari satu kebijakan sehingga kita bisa menemukan pola yang ajeg.

Misalnya, dari sisi akun buzzers riset kami menemukan bahwa akun bernama @digembokFC adalah akun yang beroperasi untuk mendukung revisi UU KPK, Omnibus Law dan Pilkada di tengah pandemi.

Hal ini juga terjadi pada akun robot, di mana ada akun bernama Vania_Ciprut yang beroperasi di tiga kebijakan kontroversial di tahun 2020: New Normal, Omnnibus Law dan Pilkada di tengah pandemi.

Selanjutnya, ada satu upaya kreasi konten secara sengaja di media sosial yang diiringi dengan diseminasi secara masif agar menjadi viral dan trending topik.

Hal ini tampak jelas misalnya dalam kasus penggalangan dukungan atas revisi UU KPK. Masih segar dalam ingatan kita bahwa pada hari-hari itu, Twitter dipenuhi oleh tagar berbunyi #KPKdanTaliban.

Pantauan riset kami menunjukkan bahwa antara 10-17 September 2019 terdapat 16.521 cuitan yang menggunakan tagar itu yang tujuannya jelas untuk menggiring opini publik seakan KPK adalah sarang dari kelompok radikal islam tak pernah terbukti hingga hari ini.

Upaya untuk memviralkan dukungan pada revisi UU KPK juga dilakukan dengan cara-cara lain yang tak wajar seperti misalnya adanya kuis “GiveAway” di mana warga maya akan mendapatkan pulsa 50 ribu untuk 2 orang yang mau membuat status apa saja namun dengan tagar #KPKPATUHAturan.

Hal ini ditujukan untuk memberikan tekanan kepada KPK yang para komisionernya menolak revisi untuk mematuhi revisi yang ada. Dalam hal ini kuis ini terbukti berhasil karena tagar #KPKPATUHAturan dikicaukan sebanyak 18.043 kali.

Pada akhirnya narasi yang menolak revisi kebijakan yang bermasalah kalah oleh pasukan siber yang mendukung kebijakan itu sehingga narasi yang mendukung kebijakan pada akhirnya menjadi satu-satunya narasi yang tetap hidup di Twitter.

#MudahDapatKerja, misalnya, menjadi trending topik di Twitter yang terus ada bahkan setelah UU Cipta Kerja disahkan. Kemudian, tagar #TaatProkesSaatPilkada merupakan narasi dominan yang ada di Twitter menjelang pelaksanaan Pilkada.

Kasus revisi UU KPK pun tak terkecuali. Kita ingat bahwa dugaan KPK sebagai sarang kelompok islam radikal yang dimetaforkan dengan istilah Taliban bahkan sempat berhasil mempengaruhi pemberitaan media arus utama secara masif.

Tampak jelas bahwa narasi yang dibangun oleh kelompok masyarakat sipil organik seperti Anita Wahid, Alisa Wahid, Dandhy Dwi Laksono, Savic Ali untuk penolakan revisi UU KPK, maupun tokoh seperti Susi Pudji Astuti, Andreas Harsono, Laode M Syarif, Sujiwo Tejdo, Ridwan Kamil untuk penolakan RUU Cipta Kerja ini bukanlah tandingan pasukan siber yang berisi kombinasi akun influencer, buzzers, dan robot.

Adalah benar bahwa penggunaan pasukan siber adalah satu normalitas baru dalam demokrasi di era digital. Dua orang peneliti Oxford, Phillip N Howard dan Samantha Bradshaw (2019) dalam studi mereka misalnya mengungkapkan bahwa penggunaan pasukan siber telah dilakukan di 70 negara di dunia.

Dalam hal ini pasukan siber mereka definisikan dengan netral sebagai sekolompok aktor yang mendapat tugas untuk mempengaruhi opini publik di internet. Satu definisi yang cukup netral.

Namun, menjadi ironi jika dialog di internet itu justru diserahkan kepada para buzzers dan, terlebih lagi, robot.

Pemeritah perlu mempraktikkan dialog yang sehat, dengan menggunakan media sosial untuk berdialog secara langsung dengan warga negara untuk mendengarkan kritik atas kebijakan yang akan atau telah dijalankan, memberikan penjelasan dan argumentasi untuk memberi edukasi kepada publik.

Jika dari dialog yang terjadi ternyata ditemukan bahwa satu kebijakan memang lebih banyak membawa kerugian, tak ada salahnya untuk dibatalkan.

Dengan demikian, pemerintahan Jokowi akan bisa benar-benar mewujudkan tekad untuk mendengarkan suara rakyat seperti disampaikan Presiden Jokowi pada hari pelantikan sebagai Presiden untuk pertama kalinya.

Mendengarkan suara rakyat merupakan habitus yang mengantarkan Jokowi menjadi pemimpin negeri ini. Semoga mendengarkan kembali suara rakyat, termasuk yang terfleksi di media sosial, menjadi semangat pemerintah untuk menjalani tahun baru 2021 ini dalam upaya menahan laju kemunduran demokrasi di Indonesia.

https://nasional.kompas.com/read/2021/01/17/19191581/mendengarkan-kembali-suara-rakyat

Terkini Lainnya

Laporan BPK 2021: Tapera Tak Kembalikan Uang Ratusan Ribu Peserta Senilai Rp 567 M

Laporan BPK 2021: Tapera Tak Kembalikan Uang Ratusan Ribu Peserta Senilai Rp 567 M

Nasional
Mundur sebagai Wakil Kepala Otorita IKN, Dhony Rahajoe Sampaikan Terima Kasih ke Jokowi

Mundur sebagai Wakil Kepala Otorita IKN, Dhony Rahajoe Sampaikan Terima Kasih ke Jokowi

Nasional
KPU Dianggap Bisa Masuk Jebakan Politik jika Ikuti Putusan MA

KPU Dianggap Bisa Masuk Jebakan Politik jika Ikuti Putusan MA

Nasional
Ketika Kepala-Wakil Kepala Otorita IKN Kompak Mengundurkan Diri ...

Ketika Kepala-Wakil Kepala Otorita IKN Kompak Mengundurkan Diri ...

Nasional
KPU Diharap Tak Ikuti Putusan MA Terkait Usia Calon Kepala Daerah

KPU Diharap Tak Ikuti Putusan MA Terkait Usia Calon Kepala Daerah

Nasional
Adam Deni Hadapi Sidang Vonis Kasus Pencemaran Ahmad Sahroni Hari Ini

Adam Deni Hadapi Sidang Vonis Kasus Pencemaran Ahmad Sahroni Hari Ini

Nasional
Pentingnya Syarat Kompetensi Pencalonan Kepala Daerah

Pentingnya Syarat Kompetensi Pencalonan Kepala Daerah

Nasional
Nasihat SBY untuk Para Pemimpin Setelah 2014

Nasihat SBY untuk Para Pemimpin Setelah 2014

Nasional
Dulu Jokowi Tak Setujui Gibran Jadi Cawapres, Bagaimana dengan Kaesang pada Pilkada Jakarta?

Dulu Jokowi Tak Setujui Gibran Jadi Cawapres, Bagaimana dengan Kaesang pada Pilkada Jakarta?

Nasional
[POPULER JABODETABEK] Pedagang Pelat Mengaku Enggan Terima Pesanan Pelat Nomor Palsu | Warga Sebut Tapera Hanya Mempertimbangkan Kebutuhan Pemerintah

[POPULER JABODETABEK] Pedagang Pelat Mengaku Enggan Terima Pesanan Pelat Nomor Palsu | Warga Sebut Tapera Hanya Mempertimbangkan Kebutuhan Pemerintah

Nasional
[POPULER NASIONAL] Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Mundur | Tugas Baru Budi Susantono dari Jokowi

[POPULER NASIONAL] Kepala dan Wakil Kepala Otorita IKN Mundur | Tugas Baru Budi Susantono dari Jokowi

Nasional
Tanggal 7 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung Periksa Adik Harvey Moeis Jadi Saksi Kasus Korupsi Timah

Kejagung Periksa Adik Harvey Moeis Jadi Saksi Kasus Korupsi Timah

Nasional
SYL Mengaku Bayar Eks Jubir KPK Febri Diansyah Jadi Pengacara dengan Uang Pribadi

SYL Mengaku Bayar Eks Jubir KPK Febri Diansyah Jadi Pengacara dengan Uang Pribadi

Nasional
PDI-P Sebut Pemanggilan Hasto oleh Polda Metro Jaya Upaya Bungkam Suara Kritis

PDI-P Sebut Pemanggilan Hasto oleh Polda Metro Jaya Upaya Bungkam Suara Kritis

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke