Sebab, kata Irna, kerja-kerja jurnalistik diatur Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber.
"Jika ada yang keberatan dengan pemberitaan Liputan6.com, ada banyak mekanisme yang disediakan oleh undang-undang itu," kata Irna dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/9/2020).
Irna mengatakan, jurnalis tidak bekerja atas nama pribadi, melainkan atas nama institusi dan dalam sistem yang dilindungi serta patuh pada ketentuan undang-undang Pers.
Ia menekankan, menjadikan wartawan sebagai sasaran doxing bukan saja salah alamat tetapi sangat berbahaya.
Oleh karenanya, Liputan6.com memutuskan untuk menempuh jalur hukum untuk merespons tindakan tersebut.
"Karena doxing adalah bentuk tindakan kekerasan dan jelas sangat berbahaya, apalagi mencantumkan link yang mengarah kepada alamat rumah, foto keluarga, termasuk foto anak bayi sang wartawan, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan materi berita yang ditulis," ujarnya.
Kronologi
Liputan6.com membeberkan kronologi dugaan doxing terhadap Irna. Awalnya, pada 10 September 2020, korban mempublikasikan artikel cek fakta yang memverifikasi klaim yang menyebut, politisi PDI Perjuangan, Arteria Dahlan merupakan cucu dari pendiri PKI di Sumatera Barat, Bachtaroeddin.
Serangan doxing bermula pada Jumat 11 September 2020, dengan skala massif.
Kemudian, sekitar pukul 18.20 WIB, akun Instagram @d34th.5kull mengunggah foto korban tanpa izin:
Lalu, sekitar pukul 21.03 WIB, akun @d34th.5kull mengunggah video dengan narasi negatif dan mengungkap akun media sosial pribadi jurnalis dan dibuat ulang akun lain.
Menurut rilis Liputan6.com, setidaknya ada empat akun yang teridentifikasi sebagai pelaku doxing.
https://nasional.kompas.com/read/2020/09/12/15402971/liputan6com-kecam-aksi-doxing-di-media-sosial-terhadap-jurnalisnya