Pertama, masyarakat diminta melakukan cek apakah obat atau produk yang dimaksud telah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Tentu kalau kita temui ada klaim, bisa dicek, itu terdaftar atau tidak di BPOM?," ujar Ghufron dalam talkhshow yang digelar Satgas Penanganan Covid-19 secara daring, Kamis (6/8/2020).
Kedua, lanjut dia, jika telah terdaftar, masyarakat harus kembali melakukan cek peruntukan obat itu.
Sebab, kata Ghufron, suatu obat atau produk herbal hanya memiliki satu fungsi saja saat terdaftar di BPOM.
Sehingga, tidak bisa satu obat untuk mengobati semua penyakit.
"Misalnya, kalau sudah pernah diklaim untuk jamu kuat lalu ada klaim terbaru bahwa obat itu bisa untuk Covid-19, maka itu tidak bisa," tegas Ghufron.
"Karena biasanya, satu kali daftar itu satu fungsi. Jadi tak bisa satu obat buat semua penyakit. Itu tidak ada di (sistem) pendaftaran," lanjutnya.
Kalau pun ada klaim terbaru, seharusnya ada pendaftaran lagi ke BPOM.
Hal ini sekaligus untuk melakukan kroscek apakah klaim terbaru terbukti kebenarannya atau tidak.
"Sehingga, jika tidak ada nomor pendaftaran BPOM, maka ini meragukan. Ingat, setiap obat atau apapun pasti ada efek sampingnya bagi tubuh," tutur Ghufron.
Ketiga, masyarakat juga diimbau menelusuri apakah ada lembaga resmi terkait yang merekomendasikan produk atau obat yang dimaksud.
Ghufron menyebut lembaga yang dimaksud antara lain BPOM, Kementerian Kesehatan dan Kemenristek/BRIN.
Sebelumnya, Ghufron mengatakan, seseorang tidak bisa tiba-tiba mengklaim bahwa dirinya telah menemukan obat Covid-19.
Ghufron menegaskan, ada prosedur yang panjang sebelum individu atau sekelompok peneliti di Indonesia mempublikasikan penemuan sebuah obat.
"Tidak bisa tiba-tiba ya, ujug-ujug menyatakan saya sudah menemukan obat ini. Sebentar, itu obat apa ? Harus ada prosedurnya," ujar Ghufron pada Kamis.
Secara ringkas Ghufron menjelaskan, sebelum meneliti untuk penemuan sebuah obat, peneliti harus menyusun proposal terlebih dulu.
Kemudian, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 240 Tahun 2016, proposal yang dimaksud harus mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan.
"Harus ke komite tersebut untuk mendapatkan etical clearance. Sehingga tak bisa langsung meneliti. Apalagi kalau melibatkan subjek manusia," tutur Ghufron.
Ketika melibatkan subjek manusia dalam penelitian, maka harus dijamin kerahasiaan, keamanan dan keselamatannya.
Ghufron menyebut harus ada inform consent sebelum subjek benar-benar memutuskan terlibat dalam penelitian.
"Subjek itu tidak boleh dipaksa. Harus dilindungi," katanya.
Kemudian, jika penelitian berada di lingkungan akademis, maka sudah ada komite etik di Fakultas Kesehatan universitas.
Ghufron menyebut, hampir semua fakultas kedokteran yang besar memiliki komite etik.
Dengan begitu, izin penelitian bisa diproses di situ.
https://nasional.kompas.com/read/2020/08/06/19151811/marak-klaim-obat-covid-19-kemenristek-imbau-masyarakat-cermati-3-hal