Salin Artikel

Putusan MA soal Pilpres Dinilai Kedaluwarsa dan Berlawanan dengan Putusan MK

Putusan ini menyatakan bahwa Pasal 3 Ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan Pasal 416 Ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UU itu mengatur soal penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam Pilpres yang hanya diikuti dua pasangan calon.

Peneliti Kode Inisiatif, Ihsan Maulana menyebutkan, putusan MA berlawanan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan perkaranya kedaluwarsa.

Selain itu, akibat putusan tersebut, muncul potensi konflik dalam keadilan pemilu.

"Putusan MA tersebut menarik untuk ditinjau relevansinya terkait tiga hal, yakni pertama, pertimbangan MA tidak sama sekali mempertimbangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia," kata Ihsan melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (7/7/2020).

"Kedua, pengujian yang diajukan kedaluwarsa. Dan ketiga, potensi timbulnya konflik baru dalam electoral justice system di Indonesia," tuturnya.

Ihsan mengatakan, putusan MK yang berlawanan dengan putusan MA ialah, pertama, Putusan MK Nomor 50 Tahun 2014 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Kedua, Putusan MK Nomor 36 Tahun 2019 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dua Putusan MK itu pada pokoknya menafsirkan bahwa apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pilpres, maka paslon terpilih adalah paslon yang memperoleh suara terbanyak sehingga tidak perlu dilakukan pemilihan putaran kedua.

"Sayangnya putusan MK tersebut tidak sama sekali dijadikan dasar pertimbangan oleh MA dalam memutuskan uji materil Pasal 3 Ayat (7) PKPU 5/2019. Padahal Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat untuk menguji UU terhadap UUD 1945," ujar Ihsan.

Akibat putusan MA, menurut Ihsan, Pasal 3 Ayat (7) PKPU 5/2019 tak lagi berlaku.

Artinya, dalam hal Pilpres hanya terdapat 2 paslon, syarat keterpilihan yakni paslon harus memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara sah dalam Pemilu dan mendapat paling sedikit 20 persen suara di setiap provinsi tersebar di lebih dari 50 persen jumlah provinsi di Indonesia.

Ihsan melanjutkan, pengujian perkara tersebut seharusnya tidak dapat diterima karena kedaluwarsa.

Pasal 76 UU Pemilu telah mengatur bahwa jika Peraturan KPU diduga bertentangan dengan UU Pemilu, maka keberatan dapat diajukan paling lambat 30 hari sejak PKPU diundangkan.

Aturan tersebut dikesampingkan oleh MA. Sebab, PKPU 5/2019 diterbitkan oleh KPU pada 4 Februari 2019, sedangkan permohonan pengujian diajukan 14 Mei 2019.

Seharusnya, mengacu ketentuan UU, pengujian terhadap PKPU itu dilakukan paling lambat 19 Maret 2019.

"Preseden ini bisa menjadi buruk dan justru membuka ruang timbulnya ketidakpastian hukum yang baru dalam penegakan hukum pemilu di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari proses akhir dari putusan uji materil ini yang keluar pada 28 Oktober 2019 atau 8 hari setelah Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik," tutur Ihsan.

Menurut Ihsan putusan semacam ini tidak untuk kali pertama terjadi.

Jelang Pileg 2019 lalu, MA juga membuat putusan yang tidak mengindahkan Putusan MK dalam kasus pencalonan Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai calon anggota DPD.

"Hal ini dapat berdampak pada terbukanya ruang untukbpermasalahan penegakan hukum kepemiluan di Indonesia," kata Ihsan.

Meski begitu, Ihsan menyebutkan bahwa Putusan MA ini tak berpengaruh pada penetapan Joko Widodo-Ma'ruf sebagai paslon terpilih Pilores 2019.

Sebab, putusan MA tidak berlaku surut dan tidak membatalkan keputusan KPU terkait penetapan paslon terpilih.

"Putusan MA tersebut tidak berlaku surut dan tidak membatalkan keterpilihan Presiden dan Wakil Presiden terpilih," kata Ihsan.

Untuk diketahui, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 3 Ayat (7) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.

Gugatan ini diajukan oleh pendiri Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, dan kawan-kawan.

Dalam putusan Nomor 44 P/PHUM/2019 tersebut dan diunggah pada 3 Juli 2020 lalu, MA menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan denan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama Pasal 416 ayat 1.

"Mengabulkan permohonan hak uji materiil yang diajukan para pemohon untuk sebagian dan menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU 5/2019 bertentangan dengan UU 7/2017," demikian dilansir Kompas.com dari Kontan.co.id, Selasa (7/7/2020).

Pasal 3 Ayat (7) PKPU 5/2019 berbunyi "Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) pasangan calon dalam pemilu presiden dan wakil presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih".

Sedangkan Pasal 416 Ayat 1 UU 7/2017 berbunyi "Pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 1/2 (setengah) jumlah provinsi di Indonesia".

Dalam pertimbangannya MA berpendapat, KPU yang mengeluarkan PKPU 5/2019 telah membuat norma baru dari peraturan yang berada di atasnya, yakni UU 7/2019. Selain itu, KPU juga memperluas tafsir dalam pasal 416 UU 7/2017.

https://nasional.kompas.com/read/2020/07/08/11284881/putusan-ma-soal-pilpres-dinilai-kedaluwarsa-dan-berlawanan-dengan-putusan-mk

Terkini Lainnya

Sejarah Hari Buku Nasional

Sejarah Hari Buku Nasional

Nasional
Tanggal 15 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 15 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
UPDATE BNPB: 19 Orang Meninggal akibat Banjir Bandang di Agam Sumbar

UPDATE BNPB: 19 Orang Meninggal akibat Banjir Bandang di Agam Sumbar

Nasional
KNKT Investigasi Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Fokus pada Kelayakan Kendaraan

KNKT Investigasi Kecelakaan Bus Rombongan Siswa di Subang, Fokus pada Kelayakan Kendaraan

Nasional
Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Partai Buruh Berniat Gugat Aturan Usung Calon Kepala Daerah ke MK

Nasional
Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Cerita Sulitnya Jadi Ketua KPK, Agus Rahardjo: Penyidik Tunduk ke Kapolri, Kejaksaan, Sampai BIN

Nasional
Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Jemaah Haji Mulai Diberangkatkan, Fahira Idris: Semoga Sehat, Selamat, dan Mabrur

Nasional
Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Jemaah Haji Gelombang Pertama Tiba di Madinah, Disambut Meriah

Nasional
Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Jokowi Diminta Tak Cawe-cawe Pemilihan Capim KPK

Nasional
PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

PBNU: Pratik Haji Ilegal Rampas Hak Kenyamanan Jemaah

Nasional
Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Prabowo Disebut Bisa Kena Getah jika Pansel Capim KPK Bentukan Jokowi Buruk

Nasional
Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Gerindra Dorong Penyederhanaan Demokrasi Indonesia: Rakyat Tak Harus Berhadapan dengan TPS

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Sekjen Gerindra Sebut Revisi UU Kementerian Negara Dimungkinkan Tuntas Sebelum Pelantikan Prabowo

Nasional
Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Pimpinan Komisi X Bantah Pernyataan Stafsus Jokowi soal Banyak Keluarga dan Orang Dekat DPR Menerima KIP Kuliah

Nasional
Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Gerindra Siapkan 4 Kader Maju Pilkada DKI, Ada Riza Patria, Budi Satrio, dan Sara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke