JAKARTA, KOMPAS.com - Rendahnya tingkat perekonomian sebuah keluarga sangat terkait erat dengan munculnya kasus perkawinan anak.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengatakan, kasus perkawinan anak kerap dilatarbelakangi oleh dominasi finansial dan relasi kuasa atau ketimpangan kekuatan pengaruh.
Ia mencontohkan kasus kepala desa yang menikahi seorang anak secara siri karena orang tua si anak memiliki persoalan utang.
"Ini menunjukkan orang-orang tertentu yang punya dominasi, kekuatan finansial, pengaruh di masyarakat, memanfaatkan situasi itu untuk mengambil keuntungan secara pribadi dengan mengawini anak," kata Susanto dalam media briefing, Rabu (20/5/2020).
Oleh sebab itu, menurut Susanto, pola intervensi pemerintah dalam menekan angka perkawinan anak tersebut juga perlu dilakukan di sisi ekonomi.
Ia mengatakan, pemerintah harus memastikan pengembangan model-model penguatan ekonomi dan ketahanan keluarga.
Terutama bagi keluarga-keluarga rentan yang sangat permisif terhadap perkawinan anak.
"Keluarga rentan diberdayakan secara ekonominya selain diperhatikan pendidikannya agar tidak permisif terhadap perkawinan anak," kata dia.
Di sisi lain, Susanto menilai sistem pendidikan dasar 12 tahun harus diperkuat.
Artinya pemerintah harus bertanggungjawab terkait pemenuhan hak anak atas pendidikan.
"Apalagi, banyaknya anak-anak menikah dini juga disebabkan oleh putus sekolah dan tak ada biaya untuk sekolah," tutur dia.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) tahun 2018, Sulawesi Barat menduduki peringkat pertama sebesar 19,43 persen untuk perkawinan anak.
Sedangkan provinsi terendah adalah DKI Jakarta menduduki peringkat akhir sebesar 4,06 persen.
Kementerian PPPA memiliki target menurunkan angka perkawinan anak dari 11,21 pada tahun 2018 menjadi 8,74 persen pada 2024 mendatang.
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/20/17515281/kpai-dominasi-finansial-dan-relasi-kuasa-jadi-penyebab-perkawinan-anak