Temuan ini merupakan hasil monitoring Imparsial lewat berbagai pemberitaan di media massa.
Hal itu disampaikan oleh Ardi dalam konferensi pers peringatan Hari Toleransi Internasional yang jatuh pada Sabtu (16/11/2019).
"Dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini terdapat 31 kasus intoleransi atau pelanggaran terhadap kebebasaan beragama dan berkeyakinan yang menyebar di 15 provinsi di Indonesia," kata Ardi dalam paparannya di kantor Imparsial, Jakarta, Minggu (17/11/2019).
Rinciannya, 12 kasus pelanggaran KBB berupa pelarangan atau pembubaran terhadap ritual/pengajian/ceramah/pelaksanaan ibadah agama atau kepercayaan tertentu.
Sebanyak 11 kasus berupa pelarangan pendirian tempat ibadah, 3 kasus berupa perusakan tempat ibadah, 2 kasus pelarangan terhadap perayaan Cap Go Meh, 1 kasus berupa pengaturan tata cara berpakaian sesuai agama tertentu oleh pemerintah.
Kemudian, 1 kasus berupa imbauan pemerintah terkait aliran keagamaan tertentu dan 1 kasus berupa penolakan untuk bertetangga terhadap yang tidak seagama.
"Nah melihat dari 31 kasus ini, memang dilakukan oleh kelompok masyarakat sipil yang mengorganisasi masyarakat sekitar, ini cenderung diorganisasi oleh kelompok yang selama ini melakukan tindakan intoleran di Indonesia," kata dia.
Meski demikian, Ardi juga menyatakan ada pula keterlibatan aparat atau pemerintah sendiri dari 31 kasus itu.
"Aparat negara atau pemerintah masih menyumbang pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan keyakinan. Padahal, seharusnya mereka menjadi pihak yang melindungi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan," kata dia.
Di sisi lain, Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri mengatakan dari temuan itu, intoleransi masih menjadi tantangan terkini yang terjadi secara berulang di Indonesia.
"Ini persoalan yang sebenarnya muncul dari awal era 2000-an yang setiap tahun mengalami keberulangan, misalnya kasus tentang penutupan tempat ibadah kelompok minoritas, pelarangan pembubaran kegiatan keagamaan tertentu, ini kan kasus-kasus yang setiap tahun sering terjadi, terus berulang di berbagai tempat," kata Ghufron.
Menurut Ghufron, setidaknya ada dua persoalan yang menyebabkan praktik intoleransi masih berlangsung di Indonesia. Pertama, aturan hukum atau kebijakan lain yang saling bertentangan.
Ghufron menuturkan, ada aturan yang menjamin hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan. Di sisi lain ada aturan dan kebijakan bisa mengancam kebebasan beragama atau berkayakinan, tetapi tetap dipertahankan.
"Selain ada problem hukum yang disharmoni, regulasi semacam ini juga digunakan sebagai instrumen untuk melegitimasi tindakan melakukan praktik intoleransi," kata dia.
Hal itu dinilai Ghufron diperparah dengan minimnya ketegasan dan keadilan dalam penegakan hukum terhadap pelaku aksi intoleran serta masih minimnya perlindungan terhadap para korban.
"Nah sehingga tantangan yang perlu ditangani ke depan selain mencabut atau merevisi peraturan perundangan, kebijakan yang membatasi kebebasan beragama dan berkeyakinan, tindakan hukum yang tegas dan adil juga penting didorong," kata dia.
Hal ini dinilainya menjadi satu jalan guna memastikan setiap orang di masyarakat memiliki hak yang sama dalam menjalankan KBB secara bebas dan adil.
"Bebas dari diskriminasi, bentuk pemaksaan dari kelompok lain dengan alasan apa pun," ujar Ghufron.
Ghufron juga menegaskan pentingnya reformasi hukum dan kebijakan yang berlandaskan pada nilai hak asasi manusia. Jangan sampai aturan hukum atau kebijakan yang disusun justru malah membatasi KBB di Indonesia.
https://nasional.kompas.com/read/2019/11/17/16384041/imparsial-catat-31-pelanggaran-kebebasan-beragama-dan-berkeyakinan-sepanjang