Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB B. Wisnu Widjaja mengatakan, meskipun risiko bencana itu rendah, tetapi sifatnya dinamis dan sewaktu-waktu bisa saja terjadi.
Terlebih, kata dia, apabila sudah banyak orang yang masuk ke sana, dampak risiko bencana pasti juga berubah.
"Risiko rendah, tapi risiko ini dinamis. Begitu orang banyak masuk ke sana, risiko bisa berkembang jadi lebih tinggi," kata Wisnu usai konferensi pers di Kantor BNPB, Jumat (30/8/2019).
Oleh karena itu, tata ruang berbasis risiko bencana menjadi sangat penting untuk penataan ibu kota baru itu.
"Kuncinya, kita harus bisa mencegah risiko yang akan datang. Kita harus pikirkan risiko yang akan datang itu apa, mencegahnya gimana, kemudian risiko yang ada sekarang kan sudah kelihatan, itu juga harus dikelola atu dikurangi dengan cara apa," ujar Wisnu.
"Dengan cara itu, berarti menata ruang berbasis analisis risiko bencana," lanjut dia.
Selain itu, penting pula analisis atas risiko hidrometrologi dan hidrologi climate atau iklim serta cuaca.
"Kalau tsunami kan rendah ancamannya dan itu bisa dikelola. Tetapi yang bisa berkembang selanjutnya adalah hidrometrologi karena kalau hidrologi itu adalah permasalah lingkungan," kata dia.
Persoalan-persoalan tersebut akan terhindar apabila pengelolaan dan pembangunan ibu kota baru dilakukan dengan baik.
"Kalau di situ sudah diindikasikan banjir, ya harusnya jangan ditempati. Itu rumahnya air, salah kita kalau kita bangun di situ," ujar Wisnu.
"Kalau bencana datang, bilangnya, ini sombongnya manusia, bencana alam semua ulah manusia," lanjut dia.
Dengan demikian, tata kota pun akan menjadi kunci untuk pembangunan ibu kota baru tersebut.
Adapun Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya telah mengumumkan perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Ibu kota baru nanti rencananya akan berada di perbatasan antara Penajam Utara dan Kutai Kartanegara.
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/30/20113891/ibu-kota-baru-tidak-lepas-dari-risiko-bencana-ini-saran-bnpb