Melalui usulan GBHN ini, menurut dia, terlihat upaya sebagian partai politik untuk menciptakan sistem pemilihan presiden menjadi tidak langsung.
"GBHN ini agenda liar dan terselubung," kata Veri dalam diskusi "Amandemen Konstitusi, Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuasa" di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/8/2019).
"Kami menyayangkan soal kemudian gagasan-gagasan yang amandemen ini ending-nya justru pada pemilu dipilih tidak langsung," ucapnya.
Veri mengatakan, pada Pemilu 2024 seharusnya menjadi angin segar dalam dunia politik. Sebab, menurut dia, pada Pemilu 2024 diprediksi akan muncul tokoh-tokoh baru yang potensial.
Namun, jika GBHN benar-benar dihidupkan kembali, maka presiden tidak akan lagi dipilih rakyat melainkan oleh MPR.
Oleh karena itu, Veri menilai, upaya penghidupan kembali GBHN lahir dari kekhawatiran parpol yang merasa terancam dengan adanya ruang bagi tokoh-tokoh politik baru bermunculan.
"Mungkin secara normal parpol tidak pernah berpikir memunculkan orang-orang baru di lingkaran-lingkaran mereka," kata dia.
Selain itu, Veri menilai, wacana pengembalian GBHN juga bertujuan untuk mengontrol Jokowi sebagai presiden terpilih.
Sebab, sosok Joko Widodo sebagai presiden terpilih 2019-2024 dinilai sulit diatur sampai-sampai PDI-P, sebagai salah satu pengusul pengembalian GBHN, sempat meminta jumlah kursi kabinet ke Jokowi di hadapan publik.
"Jadi ada keinginan untuk kemudian mengontrol presiden terpilih," ujar Veri.
Usul supaya GBHN dihidupkan kembali salah satunya dilontarkan PDI Perjuangan. Dalam Kongres V di Bali, Sabtu (10/8/2019) lalu, PDI-P merekomendasikan amandemen terbatas 1945.
Dalam amandemen itu, PDI-P berharap dapat menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Dengan demikian, MPR memiliki wewenang dalam menetapkan GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.
"Kita memerlukan Garis Besar Haluan Negara atau pola pembangunan semesta berencana," kata Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto saat ditemui seusai kongres.
https://nasional.kompas.com/read/2019/08/14/18035841/pengamat-nilai-usulan-pengembalian-gbhn-sarat-muatan-politik