"Politik identitas menjadi winning template yang biasanya dikawin-kawinkan dengan strategi post truth. Dianggap lebih bertuah secara elektoral jika dibandingkan dengan data dan fakta," katanya dalam diskusi bertajuk "Populisme Agama dalam Demokrasi Elektoral 2019" di Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (29/5/2019).
Maraknya isu-isu identitas yang membelah masyarakat, tuturnya, tidak bisa dilepaskan dari gejala global pasca kemenangan Victor Orban di Hungaria (2010), Brexit di Inggris (2016), Donald Trump di Amerika Serikat (2016), Milos Zeman di Ceko (2018), dan Jair Balsonaro di Brasil (2018).
Politik identitas, lanjutnya, telah terbukti melahirkan polarisasi yang tajam. Burhanudin menyebutkan, exit poll Indikator Politik terhadap 2.975 responden yang baru mencoblos pada 17 April 2019 lalu, memberikan gambaran bagaimana terbelahnya masyarakat Indonesia.
"Indikator menemukan bahwa kelompok muslim tradisionalis dan non muslim cenderung memilih Joko Widodo-Ma'ruf Amin, sedangkan muslim modernis cenderung memilih Prabowo Subianto-Sandiaga Uno," imbuh Burhanudin.
"Pemilih nonmuslim yang memilih Jokowi-Ma'ruf mencapai 97 persen, naik 15 persen jika dibandingkan 2014. Demikian juga dengan pemilih yang dekat dengan NU memilih Jokowi-Ma'ruf," sambungnya.
Dia menuturkan, pada Pilpres 2019, 56 persen warga Nahdiyin mengaku memilih Jokowi-Ma'ruf, naik 12 persen dibandingkan pemilu lima tahun lalu. Sebaliknya, Prabowo-Sandiaga menang telak di kalangan warga Muhammadiyah, Persis, dan ormas-ormas modernis lainnya.
"Makanya, karena politik identitas, pemilih sudah memutuskan pilihan jauh sebelum masa kampanye terbuka dimulai," jelasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2019/05/29/20001181/politik-identitas-dianggap-sebagai-winning-template-di-pilpres-2019