Hal ini juga berpotensi membahayakan tahapan pemilu yang sedang berlangsung.
Upaya delegitimasi yang dimaksud adalah penyebaran informasi hoaks dan fitnah terkait penyelenggara pemilu yang menyebabkan terjadinya disinformasi.
"Terlalu intensifnya narasi-narasi yang mendelegitimasi penyelenggara pemilu bisa berkontribusi pada apatisme dan kekerasan pemilu," kata Titi di kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Rabu (13/3/2019).
Kekerasan sendiri, menurut Titi, diartikan sebagai tindakan yang menyebabkan cedera atau matinya seseorang atau rusaknya barang kepemilikan pribadi atau publik atau ancaman atau paksaan fisik atau pembunuhan yang berkaitan dengan hak politik warga di konteks kepemiluan.
Potensi terjadinya kekerasan semakin besar di tengah masyarakat yang saat ini terbelah dengan fanatisme dan afeksi yang kuat.
"Penyebaran hoaks, fitnah, misinformasi dan disinformasi bisa memicu terjadinya kekerasan, apalagi dia berkelindan dengan fanatisme dan afeksi politik berlebihan," ujar Titi.
Problem pemilu yang kompleks dinilai menjadi salah satu penyebab pemilih sulit mendapat informasi yang kredibel.
Menurut Titi, pengawasan publik itu penting, tetapi harus dibedakan antara narasi kontrol terhadap penyelenggara dengan narasi membangun opini penyelenggara berbuat curang.
"Kalau narasi membangun opini penyelenggara curang, bukan dalam bahasa kontrol, rentan memicu apatisme politik dan kekerasan pemilu," katanya.
Oleh karenanya, hal ini menjadi tantangan seluruh pihak, tidak hanya penyelenggara pemilu, tetapi juga peserta pemilu, tim kampanye, dan masyarakat.
Di samping itu, KPU diminta untuk lebih transparan lagi supaya kepercayaan publik dapat terbangun.
"Maka membangun kepercayaan kepada penyelenggara pemilu itu penting tanpa mengurangi derajat kontrol karena penyelenggara harus dikontrol," tandasnya.
https://nasional.kompas.com/read/2019/03/13/21571241/upaya-delegitimasi-penyelenggara-pemilu-sebabkan-kekerasan-dan-apatisme