Hal itu menanggapi persoalan penyelesaian utang obligor terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang bergulir sampai sekarang.
"Ini kan sangat menyedihkan. Kalau begini terus bagaimana kepastian hukumnya? Padahal yang berikan jaminan ini pemerintah," ujar pengacara Sjamsul, Otto Hasibuan dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (25/7/2018).
Menurut Otto, pada 1999, pemerintah dan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI telah membuat kesepakatan perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA). MSAA merupakan perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset obligor.
Sjamsul telah sepakat menyelesaikan pembayaran piutang melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Setelah penyerahan aset senilai Rp 18 triliun dan uang tunai Rp 1 triliun, MSAA ditandatangani.
Setelah perjanjian itu, menurut Otto, Sjamsul dinyatakan telah menyelesaikan utangnya dan pemerintah memberikan jaminan bahwa pemegang saham tidak akan diproses secara hukum. Bahkan, menurut dia, pemerintah telah menerbitkan release and discharge.
Release and discharge merupakan jaminan pembebasan dari proses maupun tuntutan hukuman kepada obligor yang telah memenuhi kewajiban utang kepada BPPN.
Namun, pada audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2017, ditemukan adanya kerugian negara Rp 4,58 triliun. Kerugian itu akibat adanya pemberian surat keterangan lunas (SKL) oleh BPPN kepada Sjamsul Nursalim.
"Tapi apa yang terjadi 20 tahun kemudian seperti disambar petir. Audit BPK mengatakan ada kerugian negara, ini bagaimana bisa?" Kata Otto.
Saat ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang melakukan proses hukum terhadap mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung. Syafruddin dianggap bertanggung jawab atas terjadinya kerugian negara.
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/25/19214861/pengacara-sjamsul-nursalim-merasa-pemerintah-tak-punya-kepastian-hukum