Salin Artikel

Polemik DKN dan Upaya Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

Nantinya, DKN menjadi lembaga yang membahas permasalahan dan menemukan solusi terbaik mengenai kasus konflik, termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu.

Namun, wacana pembentukan DKN itu menuai polemik. Suara-suara yang menolak pembentukan DKN pun bermunculan.

Suara penolakan paling nyaring datang dari kelompok masyarakat sipil, aktivis HAM, juga keluarga korban dan korban pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Pembentukan DKN ditolak, sebab mereka berharap pemerintah tetap menyelesaikan kasus itu melalui jalur yudisial alias pengadilan.

Presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan, Maria Sumarsih mengatakan, para keluarga korban dan korban pelanggaran HAM menolak keberadaan DKN karena dikhawatirkan akan memberikan impunitas untuk pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Menurut Sumarsih, bagaimanapun juga proses hukum pengusutan pelanggaran HAM harus tetap dilakukan.

"Apa pun, harus dibuktikan di pengadilan," tutur Sumarsih, dalam konferensi pers di Kantor Kontras pada Kamis (19/7/2018) lalu.

Pelopor Aksi Kamisan ini pun berharap Presiden Joko Widodo untuk tidak meneken perpres yang mengesahkan pembentukan DKN.

"Kami korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menyatakan keberatan terhadap ide pembentukan DKN, termasuk perpres yang akan dimintakan persetujuan Presiden," kata Sumarsih, yang merupakan ibu dari korban Tragedi Semanggi I, Bernardus Realino Norma Irawan.

Jaksa Agung mempertanyakan

Penolakan terhadap pembentukan Dewan Kerukunan Nasional disesali Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. Tidak hanya itu, Prasetyo bahkan mempertanyakan sejumlah pihak yang menolak pembentukan DKN.

"Itu kami perlu pertanyakan lagi, apakah betul mewakili seluruh keluarga dari yang dikatakan korban pelanggaran berat HAM masa lalu? Kami perlu klarifikasi dulu," ujar Prasetyo, Sabtu (21/7/2018).

Prasetyo menuturkan, pada prinsipnya pemerintah ingin menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu secara tuntas dan terang benderang.

Baca: Jaksa Agung: Penolak DKN Apa Mewakili Seluruh Korban Pelanggaran HAM?

Menurut dia, penyelesaian kasus pelanggaran HAM tidak harus diselesaikan lewat pengadilan. Dia menilai, bisa juga melalui pendekatan non yudisial, tergantung kepada kasus yang dihadapi.

"Bisa yudisial (pengadilan), tapi juga dibenarkan undang-undang untuk pendekatan non-yudisial, melalui rekonsiliasi dan sebagainya. Semuanya tentu perlu kajian yang mendalam dan kita belum lihat realitas yang ada," ujar Prasetyo.

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto tetap berharap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dapat diselesaikan oleh pemerintah saat ini.

Namun, Wiranto mengakui bahwa sulit untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu karena kurangnya bukti-bukti yang valid untuk diselesaikan di pengadilan.

"Dalam penyelidikan enggak pernah berhasil untuk mendapatkan bukti-bukti, siapa yang bertanggung jawab, siapa yang berbuat, korban-korbannya bagaimana, karena sudah terlalu lama," ujar Wiranto saat ditemui di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (20/7/2018).

"Tapi dianggap utang, padahal pemerintahan sekarang enggak berhutang. Sebenarnya itu utang pemerintahan yang dulu, diwariskan," kata Wiranto.

Baca: Wiranto Minta Penolak DKN Cari Solusi Selesaikan Pelanggaran HAM Masa Lalu

Saat ini, menurut dia, pemerintah berusaha mencari penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu di luar pengadilan. DKN pun diharapkan menjadi solusi.

Wiranto juga menanggapi sejumlah kelompok yang menentang rencana pembentukan DKN. Ia berharap ada solusi yang dihasilkan kelompok penentang pembentukan DKN. Dengan demikian, kasus pelanggaran HAM di masa lalu tidak lagi menjadi belenggu bangsa Indonesia di masa depan.

"Apakah itu akan membelenggu kita sebagai bangsa selamanya? Kita butuh jalan keluar," ujar mantan Panglima ABRI itu.

Pendekatan budaya

Menurut Wiranto, DKN digagas pemerintah untuk menyelesaikan konlik sosial yang dilakukan sesuai dengan pendekatan kebudayaan tradisional Indonesia.

Adapun yang dimaksud kebudayaan tradisional Indonesia yaitu mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan suatu permasalahan.

"Masih banyak masalah konflik sosial yang bisa diselesaikan lewat musyarawah mufakat. Nah, lewat apa? Apanya itu harus dijawab, lewat satu lembaga yang dinamakan Dewan Kerukunan Nasional (DKN)," ujar Wiranto.

"Dewan itu bagian dari kultur Indonesia sendiri, bukan baru, kita hidupkan lagi," kata dia.

Baca: Wiranto Sebut DKN Akan Bekerja Sesuai Budaya Indonesia, Bukan Pengadilan

Menurut Wiranto, Indonesia memiliki budaya untuk menyelesaikan konflik di luar jalur pengadilan.

Bahkan, dia menilai bahwa cara penyelesaian konflik seperti itu sudah diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia.

"Kita punya budaya untuk selesaikan (konflik) lewat langkah-langkah dan pemikiran tindakan musyawarah mufakat, bukan lewat pengadilan. Dan itu (musyawarah mufakat) bagian dari kehidupan bangsa Indonesia dari waktu ke waktu, warisan nenek moyang kita," tutur mantan Panglima ABRI tersebut.

Direktur Eksekutif Human Rights Working Group ( HRWG) Muhammad Hafiz menilai, DKN tidak dapat digunakan untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.

Menurut dia, kasus hukum terkait pelanggaran HAM semestinya tidak diintervensi oleh instansi pemerintahan.

"DKN yang diarahkan untuk mendorong rekonsiliasi justru tidak akan dapat menyelesaikan permasalahan yang ada, karena secara hukum instansi kementerian tidak patut mengintervensi perkara penegakan hukum," ujar Hafiz kepada Kompas.com, Sabtu (9/6/2018).

Menurut Hafiz, DKN tak memiliki kewenangan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Sebab, DKN tidak memenuhi unsur independen dan akuntabilitas suatu badan penyelesaian perkara hukum.

Presiden Jokowi sendiri sempat meminta pendapat Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia terkait pembentukan DKN.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik kemudian mengingatkan bahwa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyelesaian pelanggaran HAM berat semula bisa ditempuh dengan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

Aturan hukum terkait KKR pun sempat dibuat dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Akan tetapi, undang-undang itu kemudian dibatalkan Mahkamah Konstitusi.

Taufan mengingatkan, jika ada "KKR" lainnya yang akan dibentuk misalnya seperti DKN, maka harus ada langkah-langkah pengungkapan kebenaran dari peristiwa pelanggaran HAM berat.

Setelah itu harus ada pernyataan penyesalan atau maaf atas nama negara kepada korban dan seluruh masyarakat Indonesia. Terakhir, upaya rekonsiliasi maupun rehabilitasi terhadap korban maupun keluarganya.

"Itu yang kami tekankan tadi, sekaligus di akhir kami meminta perhatian bapak Presiden untuk reformasi tata kelola Komnas HAM yang sedemikian lama kurang begitu diperhatikan," kata dia.

Baca: Jokowi Minta Pendapat Komnas HAM Soal Pembentukan Dewan Kerukunan Nasional

https://nasional.kompas.com/read/2018/07/23/09100001/polemik-dkn-dan-upaya-penyelesaian-pelanggaran-ham-berat-di-masa-lalu

Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke