Menurut dia, model politik uang itu digunakan untuk memastikan koalisi antarpartai politik terbentuk.
“Kalau sekarang kemungkinan besar, money politics atau uang itu menjadi tools untuk memastikan koalisi beli tiket,” ujar Nashidik acara diskusi di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (7/7/2018).
Undang–Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 71 Ayat 1 sudah sangat jelas menyebutkan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih.
Ia menuturkan, pelakunya dapat dikenai sanksi administrasi sebagai calon dan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan perundang–undangan.
Akan tetapi, aturan ini acap kali dilanggar oleh calon untuk memengaruhi dan menggiring pilihan serta opini masyarakat dalam memilih calon tertentu.
Nashidik mengatakan, jika sedari awal proses penjaringan bakal calon saja sudah menggunakan politik uang, maka tentu pada tahapan kampanye serta pemungutan dan penghitungan suara tidak menutup kemungkinan ada upaya meraih kekuasaan dengan cara-cara kotor.
Politik uang tidak hanya diartikan dalam bentuk uang, tetapi juga materi lain yang berupa bingkisan, misalnya, atau suvenir bahan kampanye lain yang jumlahnya melebihi Rp 25.000.
Di sisi lain, Nashidik menyoroti pemberlakuan aturan pencalonan ambang batas atau presidential treshold presiden dan wakil presiden saat pilpres 2019 mendatang.
Menurut dia, presidential treshold bertentangan dengan hak politik masyarakat.
“Presidential treshold ini justru menjauhi kehendak konstitusi untuk membuat sistem politik yang lebih berkarakter presidensial,” kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/08/10043131/komitmen-pembiayaan-kampanye-jadi-modus-pembentukan-koalisi-parpol