Banyak tantangan yang bisa bikin iman goyah. Misalnya, jika di negara empat musim, kita bakal bertemu cuaca yang teramat dingin atau panas. Atau pun lingkungan yang tidak mendukung untuk berpuasa.
Begitu pula di Brisbane, Ibu Kota negara bagian Queensland, Australia. Menjalankan ibadah puasa di sini berbeda dengan di Indonesia.
Dari sisi waktu sahur dan berbuka misalnya. Untungnya, tahun ini, umat Muslim di Brisbane menjalankan rukun Islam yang ketiga itu saat winter atau musim dingin.
Jangan bayangkan musim dingin di Brisbane bersalju dengan suhu minus seperti di sebagian negara Eropa atau Amerika.
Di Brisbane, musim dingin berarti hanya tidak panas. Dingin, tetapi masih bisa pakai jaket yang tidak usah tebal-tebal amat. Bahkan, kadang matahari masih bersinar terik di siang hari.
Di saat musim dingin, kami memulai puasa pukul 05.00 pagi dan berbuka sekitaran pukul 05.00 sore. Kurang lebih 12 jam.
Cukup nyaman berpuasa di hawa yang relatif sejuk. Suhunya, antara 15 sampai 20 derajat saat siang dan sore. Sementara ketika malam, bisa menembus di bawah 10 derajat. Dengan suhu demikian, tak terasa haus yang berlebih.
Namun, jika bulan Ramadhan jatuh saat musim panas, puasa bisa dimulai sejak pukul 03.00 dini hari dan berakhir pukul 18.30, atau bisa jadi hingga pukul 19.00.
Di musim panas, matahari amat terasa. Terik dan bisa membakar kulit. Bisa mudah dehidrasi.
Tri Murdananto, warga Indonesia, merasakan perbedaan dalam menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan di Tanah Air dan Brisbane. Menurut dia, di Brisbane, tak banyak sarana pendukung yang bisa bikin puasa lebih maksimal.
"Di Indonesia, begitu banyak sarana pendukung seperti kajian-kajian Islam dan majelis ilmu untuk bisa mengisi Ramadhan dengan lebih optimal," kata dia, saat ditemui Kompas.com di Brisbane.
Di sisi lain, lanjut dia, kondisi ini justru ada segi positifnya.
"Minimnya sarana-sarana tersebut justru memberi peluang kita untuk beramal, misalnya turut aktif dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan menyiarkan Islam di Brisbane," kata Anto, sapaan Tri.
Tahun ini adalah tahun kedua Anto menjalankan ibadah puasa di Brisbane.
Dan perbedaan yang amat kentara dengan Indonesia, di Brisbane restoran tetap buka dan tak menggunakan penutup.
Warga sekitar juga dengan santai makan dan minum di mana saja. "Tapi, bagi saya itu tak terlalu berpengaruh," ujar Anto.
Buka puasa
Di Brisbane, tak ada kantor perwakilan Pemerintah Indonesia. WNI di kota ini mesti mencari cara agar bisa berkumpul untuk berbuka puasa.
Buka puasa bareng digelar secara swadaya oleh komunitas-komunitas Indonesia. Namun, ada kalanya, setiap pekan, sebagian besar WNI di Brisbane berkumpul untuk berbuka bareng. Biasanya di kampus-kampus.
Di kota ini ada tiga kampus besar, yakni Griffith University, Queensland University of Technology (QUT) dan University of Queensland (UQ). Orang Indonesia relatif banyak berkuliah di tiga kampus itu.
Atas inisiasi Indonesia Islamic Society of Brisbane (IISB) bekerja sama dengan perhimpunan mahasiswa Indonesia, buka puasa bersama dihelat di tiga kampus itu.
"Setiap tahun memang seperti itu. Dan kami (perhimpunan mahasiswa Indonesia di kampus-kampus), biasanya berembuk untuk menentukan jadwal," kata President UQ Indonesian Student Association, Fendi Rahmat Widianto.
"Ini bukan cuma untuk orang Indonesia, tapi juga semua yang ingin berbuka puasa," kata dia.
Menu berbuka tentunya makanan khas Indonesia. Seperti ayam kaleo atau mie bakso. "Lumayan, bisa menuntaskan rasa kangen berbuka di Tanah Air," kata Tamara Anisa, mahasiswa master di UQ.
Di UQ, sekitar 800 umat Muslim menikmati menu bakso. Antrean mengular. Umat menikmati bakso dengan sambal khas yang lumayan pedas.
Selain komunitas Indonesia, selama bulan Ramadhan di tiga kampus tersebut, berbagai komunitas Muslim dunia yang ada di Brisbane, menghidangkan makanan untuk berbuka puasa secara gratis.
Usai berbuka, dilanjutkan dengan shalat tarawih. Banyak orang Indonesia yang memanfaatkan buka puasa gratis ini, selain juga untuk mencoba makanan khas dari negara lain.
Lebaran yang tak serentak
Di hari ke-29 Ramadhan atau Kamis (14/6/2018), kaum Muslim Brisbane menunggu pengumuman Idul Fitri. Seperti yang pernah terjadi di Indonesia beberapa tahun lalu, Lebaran di Brisbane tahun ini tak serentak.
Pada Kamis malam, Moonsighting Australia menyatakan bahwa hilal tak nampak di seluruh wilayah Australia. Maka dari itu, 1 syawal ditetapkan jatuh pada Sabtu (16/6/2018).
Sementara, selebaran dari Australian National Imams Council yang diteken The Grand Mufti of Australia Sheikh Abdul Azim Al-Afifi menetapkan bahwa Lebaran jatuh pada Jumat (15/6/2018).
Atas dasar pengumuman tersebut, sebagian warga Indonesia berlebaran pada Jumat, sebagian lagi Sabtu.
Shalat Id juga dibagi dua, Jumat dan Sabtu, tersebar di beberapa titik. Meskipun demikian, itu tak mengurangi khidmat perayaan Lebaran.
Selepas shalat Id, WNI di Brisbane berkumpul bersama kerabat untuk merayakan Lebaran. Ada yang di rumah, di taman, maupun di apartemen. Mereka bersantap dengan menu wajib: ketupat dan opor ayam, serta sambal goreng hati.
Bagi Anto, suasana Lebaran di Brisbane terasa hangat meskipun di musim dingin. Kedekatan dan keakraban umat Muslim di Brisbane, kata dia, sangat nampak.
"Suasana ukhuwah yang begitu luar biasa berkat para senior kita yang sudah membangunnya dari dulu. Dan keakraban bukan cuma antar Muslim Indonesia, tapi semua umat Muslim di Brisbane," kata dia.
https://nasional.kompas.com/read/2018/06/17/20253991/berpuasa-dan-berlebaran-di-dinginnya-brisbane