Dalam aksi bom bunuh diri di Surabaya, Minggu (13/5/2018), pelaku bukan hanya Dita Oepriarto. Istri Dita, Puji Kuswati, turut menjadi pelaku bom bunuh diri, bahkan mengikut sertakan anak-anaknya.
Kemudian, keterlibatan perempuan juga terjadi pada ledakan di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo. Aksi tersebut dilakukan oleh Anton, beserta istri dan anaknya.
Tidak hanya itu, ada pula aksi bom bunuh diri yang dilakukan di Mapolrestabes Surabaya pada Senin (14/5/2018) pagi. Tri Murtiono, pelaku bom tersebut, mengajak serta istri dan anak-anaknya.
Sebelumnya, pada Sabtu (12/5/2018) lalu, aparat kepolisian mengamankan dua perempuan yang diduga akan melakukan penusukan terhadap anggota Brimob. Kedua perempuan berinisial DSM dan SNA diamankan bersama barang bukti berupa KTP, gunting, dan ponsel.
Terkait hal ini, Navhat Nuraniyah, peneliti dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) mengatakan tren ini sudah terjadi sejak beberapa tahun lalu. "Kenapa perempuan terlibat, tren ini bisa kita lihat sejak ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) berdiri pada 2014-2015," kata Navhat di Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Navhat menyebut, ISIS pun kemudian mengeluarkan instruksi yang membolehkan perempuan melakukan jihad secara fisik pada sekira Oktober 2017 silam. Tren ini kemudian terlihat di Indonesia, ketimbang di kawasan lain seperti di Mindanao, Filipina Selatan.
Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid menuturkan, sebenarnya sudah sejak lama perempuan masuk ke dalam jaringan radikalisme maupun terorisme. Namun, baru-baru ini saja perannya terlihat semakin jelas.
"Mungkin baru sekarang kita sadar karena peran yang dimainkan langsung center stage," tutur Yenny.
Menurut Yenny, ada beberapa peran yang dimainkan perempuan dalam gerakan radikalisme dan terorisme. Pertama, perempuan merupakan perekrut orang untuk masuk ke dalam jaringan, maupun orang untuk dijadikan "pengantin" alias pelaku aksi teror.
Kedua, perempuan pun kerap kali menjadi fundraiser atau penggalang dana untuk kegiatan radikalisme. Selain itu, perempuan pun menjadi pengatur logistik dalam aksi radikal atau teror.
"Kalau mau penyerangan, dia yang sewa mobil, sewa motor, atau beli ini itu," jelas Yenny.
Terakhir, peran lainnya adalah menjadi eksekutor. Peran ini yang terlihat dalam beberapa aksi teror baru-baru ini, termasuk aksi bom bunuh diri di Surabaya.
Dari sisi agama, Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan Antarumat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Abdul Moqsith Ghozali menjelaskan, para pelaku teror dan bom bunuh diri di Surabaya beberapa waktu lalu keliru membaca Al-Quran dan hadits. Tak hanya itu, mereka juga keliru memahami sejarah Nabi Muhammad SAW.
Moqsith menyebut pula, perang yang digadang-gadang oleh para pelaku teror tersebut, khususnya di Surabaya, tidak sesuai dengan syariat Islam. Sebab, Islam tidak membenarkan perempuan dan anak-anak terlibat dalam perang.
Dalam sejarah, istri Nabi Muhammad maupun para sahabat-sahabatnya tidak pernah dilibatkan dalam perang. Melibatkan perempuan dan anak-anak dalam peperangan, imbuh Moqsith, tidak sesuai dengan syariat Islam.
"Itu tidak syar'i, salah kalau libatkan perempuan dalam peperangan. Melibatkan anak-anak dalam peperangan. Tidak benar kalau merujuk ke Al-Quran, hadits, dan sejarah Nabi," terang Moqsith.
https://nasional.kompas.com/read/2018/05/16/07495471/ketika-peran-perempuan-kian-nyata-dalam-aksi-radikal