"Kami akan memberikan yang namanya health technology assesment (HTA), itu penilaian teknologi kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan," ujar Nila di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Senin (9/4/2018).
Health technology assesment merupakan mekanisme pengendalian mutu sekaligus biaya. Mekanisme ini untuk menentukan apakah metode tersebut bisa masuk ke sistem jaminan kesehatan nasional atau tidak.
"Jadi akan dinilai oleh HTA ini, apakah memang bermanfaat dan biayanya juga bisa dikendalikan untuk JKN atau tidak," ujar Nila.
Tim penilai, lanjut Nila, terdiri dari pakar yang selama ini berkecimpung di dunia kesehatan.
Meski demikian, Nila tak bisa memastikan apakah setelah metode dokter Terawan dinyatakan lolos HTA, maka statusnya di IDI kembali lagi seperti sedia kala. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada tim pakar.
Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI Prijo Sidipratomo sebelumnya mengungkapkan pemberhentian sementara dilakukan lantaran Terawan dianggap melanggar kode etik kedokteran.
"Pelanggaran kode etik itu yang pasti kami tidak boleh mengiklankan, tidak boleh memuji diri, itu bagian yang ada di peraturan etik. Juga tidak boleh bertentangan dengan sumpah dokter," ujar Prijo dalam wawancara yang ditayangkan di Kompas TV, Selasa (3/4/2018).
Namun, belakangan IDI dikabarkan menunda pemecatan tersebut hingga batas waktu yang belum ditentukan.
Terawan selama ini diketahui sebagai orang yang mengenalkan metode "cuci otak" untuk mengatasi penyakit stroke. Terapi cuci otak dengan Digital Substraction Angiography (DSA) diklaim bisa menghilangkan penyumbatan di otak yang menjadi penyebab stroke.
Namun, metode cuci otak yang dikenalkan Terawan menuai pro dan kontra.
https://nasional.kompas.com/read/2018/04/09/21162401/metode-cuci-darah-dokter-terawan-akan-diuji-kemenkes-untuk-jkn