Acara yang dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo itu mengangkat tema “Memperkokoh Komitmen Islam Kebangsaan Menuju Orde Nasional”. Isu penting yang menjadi bahasan Rakernas I MDHW antara lain soal radikalisme.
Gerakan radikalisme yang berujung pada terorisme merupakan momok mengerikan karena telah membuat citra Islam lekat dengan agama teror yang menyukai jalan kekerasan. Celakanya, eskalasi gerakan ini bukan makin surut, namun justru kian meningkat.
Hasil survei Wahid Institute 2017 lalu menyebutkan bahwa sebanyak 0,4 persen atau 600.000 penduduk Indonesia pernah bertindak radikal. Sedangkan 7,7 persen atau 11 juta orang berpotensi bertindak radikal.
Tak hanya itu, survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) 2017 juga menyebutkan sebanyak 39 persen mahasiswa di 15 provinsi di Indonesia terindikasi tertarik pada paham radikal. Data ini menunjukkan bahwa radikalisme merupakan persoalan serius yang perlu mendapat perhatian khusus.
Isu berikutnya adalah soal ekonomi umat. Isu ini pentng karena jika merujuk data World Bank (2015), Indonesia merupakan negara ranking ketiga tertimpang setelah Rusia dan Thailand.
Fakta ini sungguh menyedihkan karena kekayaan Indonesia dimonopoli oleh segelintir orang yang menguasai lahan, jumlah simpanan uang di bank, saham perusahaan, ataupun obligasi pemerintah. Tentu persoalan ketimpangan bisa menjadi ancaman bagi persatuan dan kesatuan nasional.
Islam kebangsaan
Karena itu, dalam konteks mengatasi gerakan radikalisme, pemahaman ihwal pentingnya memperkokoh komitmen Islam kebangsaan perlu dilakukan secara masif dan berkelanjutan. Islam kebangsaan merupakan Islam yang memiliki semangat cinta tanah air (hubbul wathon).
Sejarah mencatat, Islam kebangsaan telah menjadi kekuatan fundamental dalam upaya melawan kolonialisme. Islam kebangsaan mempererat tali persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathoniyah).
Bingkai politis-yuridis adalah kebijakan tentang bentuk negara Indonesia, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila sebagai falsafah bangsa, dan UUD 1945 sebagai konstitusi negaranya. Ini berarti, keputusan politik para pendiri bangsa merupakan konsensus nasional.
Sedangkan bingkai teologis adalah untuk mewujudkan integrasi nasional yang kokoh. Bingkai teologis ini menjadi perekat sekaligus pemahaman kepada seluruh elemen masyarakat tentang begitu pentingnya menjaga integrasi bangsa ini secara bersama-sama, dalam upaya menjaga keutuhan dan kesatuan nasional, baik kaitannya dengan NKRI dan Pancasila.
Ekonomi umat
Sementara itu, dalam konteks memperkuat ekonomi umat, kita perlu mendorong umat Islam yang menjadi mayoritas penduduk Indonesia tidak hanya menjadi penonton dan konsumen, namun mampu bergeser menjadi aktor utama dan produsen dalam setiap jengkal denyut nadi perekonomian Indonesia.
Karena itu perlu misalnya dilakukan penataan aktivitas perekonomian secara bottom up, atau yang oleh pemerintah dikenal dengan istilah ultra-mikro.
Ini mengingat jumlah usia produktif yang ditandai dengan bonus demografi di Indonesia makin meningkat dari tahun ke tahun. Bila tak dipersiapkan dengan baik, bonus demografi bukan mendatangkan “berkah” namun justru “musibah”.
Itulah mengapa dalam menancapkan visi organisasinya, MDHW memiliki empat pilar gerakan, yakni dzikir, halaqoh, gerakan sosial, dan pemberdayaan ekonomi umat.
Konsep dzikir yang dimaksud di sini tidak sekadar dzikir wirid sebagaimana umumnya, namun dzikir secara universal yang berangkat dari konsep dasar “Fas’aluu ahlad dzikri inkuntum laa ta’lamuun.” (maka tanyakanlah kepada ahli dzikir jika kamu tidak mengetahui).
Sedangkan halaqoh merupakan konsep silaturrahim, konsolidasi, bermusyawarah, baik itu dengan para ulama maupun elemen bangsa yang lain. Konsep halaqoh yang dimaksudkan sebagai jembatan mencari problem solver dari berbagai permasalahan kebangsaan yang ada.
Secara konkret, gerakan ini akan merespons berbagai problem dan dinamika sosial yang ada, mulai dari bencana alam, renovasi tempat pendidikan dan tempat ibadah, atau pemberian beasiswa bagi yang tidak mampu.
Sementara yang dimaksud pemberdayaan ekonomi umat adalah upaya mengatasi ketimpangan dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Akhirnya, Islam sebagai agama rahmat semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) harus menjadi spirit dalam berbangsa dan bernegara. Dan umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia harus menjadi pionir mewujudkan tananan nasional (orde nasional) yang lebih baik.
https://nasional.kompas.com/read/2018/03/02/19084451/memperkokoh-islam-kebangsaan-memperkuat-ekonomi-umat