Korbannya pun tak cuma perempuan. Malahan, jumlah anak korban berjenis kelamin laki-laki justru makin banyak.
Menurut Semendawai, satu orang pelaku bisa memakan lebih dari satu korban. Contoh seperti pada kasus di Tangerang dengan pelaku W alias Babe, yang korbannya mencapai 43 orang.
Kemudian, di Jakarta Timur yang korbannya berjumlah 16 orang dan masih banyak kasus lainnya.
"Muncul pertanyaan, bagaimana dengan masyarakat di sekitar lingkungan korban, bagaimana peran mereka," ujar Semendawai dalam keterangannya, Kamis (1/2/2018).
Semendawai pun menyoroti banyaknya anak yang menjadi korban kekerasan seksual.
Untuk bulan Januari saja, jumlah anak korban kekerasan seksual bisa lebih dari 100 orang yang tersebar di beberapa daerah.
"Itu yang terpantau. Masih banyak kasus-kasus lainnya. Makin banyak anak yang menjadi korban. Rata-rata mereka takut untuk melaporkan kejadian yang menimpanya," tutur dia.
Selain takut, kesulitan dalam pengungkapan tindak pidana kekerasan seksual anak, antara lain juga disebabkan orang tua yang tidak mendukung anaknya mengungkap kejadian yang dialaminya.
"Sulitnya pembuktian, kurangnya keberpihakan penyidik terhadap korban, rasa malu pada diri korban, trauma dan kurangnya dukungan dari lingkungan di sekitar korban," ucap dia.
Fenomena gunung es
Tak berbeda, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto mengungkapkan, angka kasus kekerasan seksual pada 2015 cukup tinggi.
Kemudian tahun 2016 dan 2017 turun drastis. Namun di awal tahun 2018 kembali tinggi.
"2018 kelihatannya naik drastis. Januari saja lebih dari puluhan kasus yang terpantau,” kata dia.
Menurut Susanto, motif dari kasus kekerasan seksual ini ada beberapa hal, antara lain karena faktor ekonomi, dendam maupun dorongan seksual tinggi.
"Yang bisa kita lakukan adalah memantau anak-anak kita, dimana pun, kapan pun," ujar Susanto.
Sementara itu, psikolog Kassandra Putranto menilai kekerasan seksual anak bagai fenomena gunung es. Di mana hanya tampak bagian puncaknya saja, sedangkan di bawahnya sulit terdeteksi.
Kassandra juga menyoroti beberapa kelemahan dalam penanganan korban. Salah satunya layanan bagi korban yang tidak berkesinambungan.
"Korban kekerasan seksual membutuhkan waktu pemulihan yang tidak sebentar dan harus berkelanjutan," kata dia.
Ia pun mengungkapkan, pada beberapa kasus, ada trauma yang diderita korban yang menarik dikaji. Sebagai contoh, ada korban yang justru senang dengan pelaku karena pelaku diakui lebih menyayangi mereka.
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/01/21041771/awal-2018-tren-kekerasan-seksual-terhadap-anak-laki-laki-naik