Detasemen Kawal Pribadi (DKP) yang berisikan polisi dan tentara yang sukarela melindungi Bung Karno menjadi cikal bakal organisasi Paspampres terbentuk. Delapan pemuda yang mengajukan diri sebagai perisai hidup Presiden Soekarno itu pun memiliki berbagai kisah heroik pada masa perjuangan.
Salah satunya pada Minggu, 19 Desember 1946. Ketika itu, pasukan Belanda mengepung Istana Presiden Yogyakarta, pusat pemerintahan Republik Indonesia yang juga kediaman resmi Bung Karno.
Pasukan baret hijau KST itu berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Van Beek.
Saat itu, Istana dipertahankan Kompi II Polisi Militer, di bawah komando Letnan I Soesatio dengan anak buah sekitar 100 orang. Pasukan yang mempertahankan Istana kalah jumlah dibandingkan pasukan Belanda.
Melihat situasi semakin kritis, pengawal Bung Karno Letnan II Soekotjo Tjokroatmodjo mengusulkan agar Presiden segera melarikan diri.
"Pak, tinggalkan saya bersama sebagian anak-anak. Komandan segera selamatkan Presiden lewat pintu belakang Istana," kata Soekotjo kepada Soesatio, seperti dikutip dari buku Doorstoot Naar Djokja yang ditulis Julius Pour.
"Mari kita tanya dulu ke Mayor Soegandhi," kata Soesatio.
Namun, Mayor Soegandhi yang merupakan ajudan Presiden Soekarno itu juga tidak berani mengambil keputusan.
"Kita bersama-sama saja ke Bapak," kata Soegandhi kepada Soesatio dan Soekotjo.
Di serambi belakang Istana, Presiden Soekarno sedang duduk bersama Menteri Luar Negeri Agoes Salim, Komodor Oedara Soerjadarma, dan Sekretaris Negara Ichsan.
Suara tembakan semakin tambah riuh, terasa sudah mulai mendekati Istana. Sementara itu, suara pesawat terbang rendah membuat suasana bertambah mencekam.
"Ono opo Tjo?" tanya Soekarno kepada Soekotjo.
Dengan lantang Soekotjo melapor, "Situasi sudah semakin kritis, Istana hampir dikepung, sedangkan bantuan pasukan tidak mungkin lagi bisa kita harapkan."
Soekotjo pun lantas masuk ke poin inti yang akan ia sampaikan, yakni meminta Soekarno melarikan diri dari Istana.
"Bapak,... sebaiknya menyelamatkan diri ke arah barat, lewat pintu belakang, dikawal Pak Soesatio bersama anak-anak. Saya sendiri akan tetap di sini, mempertahankan Istana," kata Soekotjo.
Bung Karno diam, memandang tajam ke arah Soekotjo. Sesaat kemudian, dia menjawab sambil mengacungkan tangannya ke atas, "Begini Tjo, Merah Putih tidak akan pernah menyerah."
Dengan nada kalimat berubah datar Bung Karno segera melanjutkan kalimatnya," ...tetapi, kita akan serahkan saja rumah ini, Istana ini."
Soekotjo yang saat itu masih berusia 21 tahun tak terima dengan keputusan Bung Karno yang menyerah kepada Belanda.
"Air mata atas tanpa sadar meleleh, tapi darah saya justru mendidih, mendengar penjelasan Bung Karno. Darah muda saya tentu saja dengan keras menolak," kata Sukotjo.
"Sudah empat tahun kita berjuang, kok kemudian malah gampang saja, memutuskan untuk menyerah? Ada apa ini?" tambah dia.
Perjuangan diplomasi
Waktu itu, Soekotjo hanya seorang komandan kompi. Dengan demikian, ia belum memperoleh informasi bahwa sidang Kabinet baru saja memutuskan, Presiden dan seluruh pemimpin RI yang masih tertinggal di Istana akan tetap berada di sana untuk mencoba meneruskan tahap baru perjuangan. Tidak lagi bertempur, akan tetapi mencoba sebuah cara lain, yakni jalan diplomasi.
Bung Karno kemudian memerintahkan Letnan I Soesatio menghentikan perlawanan. Sekitar 80 pucuk senapan Lee Enfield beserta seluruh persenjataan anggota Kompi II Polisi Militer diletakkan di halaman rumput depan Istana.
Dengan kedua tangan di atas kepala, seluruh polisi militer, termasuk Soekotjo, diminta berjalan ke luar Istana oleh pasukan Belanda. Soekotjo yang saat itu masih tidak terima dengan keputusan Soekarno untuk menyerah mencoba melarikan diri dari pasukan Belanda dan berhasil.
Dia kemudian kembali ke satuannya dan bergabung dengan prajurit lain melakukan perang gerilya untuk mengusir tentara Belanda dari Yogyakarta. Setelah situasi kondusif, Sukotjo bersama dengan timnya kembali dan mengambil alih penjagaan Istana Merdeka, Jakarta.
Seiring berjalannya waktu, Soekotjo akhirnya mengerti alasan Bung Karno ketika itu memilih menyerah kepada Belanda. Hal ini sempat diceritakan Soekotjo kepada anaknya, Chandra W Soekotjo.
"Di kemudian hari beliau menyadari justru dengan ditawannya Bung Karno oleh Belanda itu akan memperlemah posisi Belanda itu sendiri," kata Chandra saat wawancara dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
****
Pada 3 Januari 2018, Paspampres tepat berusia 72 tahun. Di usia yang tak lagi muda, segudang cerita menarik menyertai kerja Paspampres selama ini. Maka dari itu, selama dua hari, mulai Rabu (3/1/2017) hingga Kamis (4/1/2017), Kompas.com akan menurunkan cerita-cerita menarik dan inspiratif seputar kerja Paspampres dari masa ke masa.
https://nasional.kompas.com/read/2018/01/03/10040371/istana-dikepung-belanda-pasukan-pengawal-siap-mati-demi-bung-karno