Salin Artikel

Kontras Nilai Penyiksaan Masih Dianggap Wajar oleh Aparat Hukum

Hal tersebut terlihat dari tingginya angka kasus penyiksaan yang didokumentasikan Kontras selama periode Juni 2016 hingga Mei 2017.

Arif menduga, polisi cenderung menggunakan kekerasan untuk menggali informasi atau membuat seorang terduga pelaku tindak pidana mengakui perbuatannya.

"Praktik penyiksaan menjadi suatu yang lumrah dan wajar dilakukan oleh aparat penegak hukum. Cara-cara kekerasan untuk menggali informasi masih dianggap lumrah," ujar Arif saat menyampaikan laporan Kontras mengenai Hari Anti Penyiksaan Sedunia 2017 di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (13/10/2017).

Selama periode Juni 2016 hingga Mei 2017, Kontras mencatat ada 163 peristiwa penyiksaan. Sebagian besar kasus penyiksaan tersebut terjadi di ruang tahanan kepolisian, yakni sebanyak 32 kasus di ruang tahanan Polres dan delapan peristiwa di ruang tahanan Polda.

Para korban penyiksaan didominasi oleh warga sipil yang diduga menjadi pelaku tindak kriminal. Tidak jarang terjadi praktik salah tangkap.

Motif penyiksaan, lanjut Arif, diduga kuat untuk memperoleh informasi dari para korban. Selain itu praktik penyiksaan kerap dilakukan agar korban yang diduga pelaku tindak pidana mengakui perbuatannya.

"Mereka yang menjadi korban rata-rata adalah warga sipil, baik dalam kapasitasnya untuk tindak kriminal atau pun mereka yang menjadi korban dari praktik penegakan hukum yang serampangan dan dengan sengaja disiksa untuk mengakui perbuatannya," kata Arif.

Praktik penyiksaan oleh aparat kepolisian seringkali diikuti dengan mekanisme penegakan hukum yang tidak sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Victor Manbait dari Lembaga Advokasi Anti Kekerasan Terhadap Masyarakat Sipil, Nusa Tenggara Timur, memaparkan salah satu kasus penyiksaan yang pernah ditanganinya.

Pada 4 Desember 2014, seorang warga NTT ditangkap dan ditahan oleh tiga orang polisi atas tuduhan percobaan pemerkosaan. Namun, saat melakukan penangkapan petugas tidak memiliki surat tugas dan surat perintah penangkapan.

"Tidak ada surat tugas, tidak ada surat perintah penangkapan dan surat penahanan. Padahal kalau ditahan seharusnya terjamin proses hukum berjalan adil," ujar Victor.

Keesokan harinya, korban diketahui meninggal dunia. Keterangan polisi menyatakan korban bunuh diri dengan cara menjerat leher menggunakan ikat pinggang di dalam sel tahanan. Namun, kata Victor, hasil otopsi menunjukkan adanya kejanggalan pada tubuh korban.

"Hasil otopsi di belakang kepala mengalami memar," ucapnya.

Kasus penyiksaan juga pernah dialami Maklon Dorosaya (25) warga Desa Tolong, Kabupaten Taliabu, Maluku Utara.

Maklon ditangkap karena dituduh sebagai provokator dalam aksi unjuk rasa di desanya pada 23 Februari 2017. Unjuk rasa tersebut digelar untuk menuntut hak adat warga dan pembayaran ganti rugi lahan warga yang digunakan oleh sebuah perusahaan tambang.

Maklon mengaku sempat ditahan selama 47 hari di ruang tahanan Polsek dan mengalami penyiksaan.

"Saya ditangkap lebih dulu baru keluar surat penangkapan dan penahanan. Yang saya alami ini adalah bentuk kriminalisasi. Saya dipukul, dianiaya ditampar dan diintimidasi agar saya tidak lagi bersuara. Saya dituduh sebagai teroris, PKI dan saya dituduh mengancam Kapolres," tutur Maklon.

Tingginya kasus penyiksaan oleh aparat penegak hukum, menurut Arif, disebabkan karena negara tidak memiliki mekanisme efek jera dalam praktik akuntabilitas.

Aparat cenderung menggunakan upaya damai dengan menawarkan kompensasi uang kepada korban dan keluarganya.

Dalam beberapa kasus, kepolisian tidak menindaklanjuti proses hukum terhadap anggotanya yang tersangkut kasus penyiksaan.

"Di sisi lain jika membandingkan berkas perkara yang melibatkan aparat penegak hukum dengan warga sipil, vonisnya rendah, 2 sampai 4 tahun. Namun jika pelaku penyiksaannya warga sipil hukumannya lebih dari 5 tahun," kata Arif.

Berangkat dari fakta tersebut, lanjut Arif, Kontras mendesak agar pemerintah dan DPR membahas RUU Tindak Pidana Penyiksaan. Selain itu pembahasan revisi KUHP dan KUHAP juga perlu dipercepat.

Menurut Arif, selama ini tidak ada mekanisme hukum yang mampu memberikan efek jera bagi aparat negara yang menjadi pelaku kasus penyiksaan.

Mabes Polri sebelumnya sudah memberikan tanggapan terhadap riset mengenai masih adanya penyiksaan oleh oknum anggotanya, berdasarkan riset Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Jika memang terbukti ada penyiksaan, maka Polri akan menindaklanjuti dengan melakukan proses hukum.

"Kalau memang terbukti ada fakta-fakta yang menunjukkan benar ada penyiksaan maka akan diproses," kata Inspektur Wilayah V pada Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri Brigjen Syaiful Zachri.

(Baca: Kepolisian dan Bayang-bayang Penyiksaan)

Syaiful menilai bahwa adanya penyiksaan yang dilakukan anggota kepolisian merupakan cerminan masih kurangnya kualitas sumber daya manusia (SDM) dan sarana serta prasarana penyidikan.

"Macam-macam, ada kurangnya kemampuan anggota tentang pemahaman prosedur, kemudian secara pribadi mungkin kondisi dalam tekanan atau kekurangan sarana prasarana untuk pembuktian," kata dia.

Menurut Syaiful, anggota berpangkat bintara kemungkinan besar bisa melakukan hal tersebut. Pasalnya, pendidikan yang hanya memakan waktu tujuh bulan belum cukup membuat mereka paham prosedur dan aturan hukum dalam KUHAP.

Pendidikan tujuh bulan berupa tiga bulan perubahan mindset dari warga sipil ke anggota dan empat bulan teknis seperti mempelajari KUHAP dianggap Syaiful masih kurang.

"Di penyidikan 7 bulan bisa apalah, menghapal KUHAP dan macam-macam serta kemudian ditugaskan, tekanan pimpinan harus berhasil, target waktu juga membuat mereka minim konfirmasi dan kroscek pengakuan," kata Syaiful.

Namun, Syaiful tak serta merta menyalahkan anggotanya atas adanya penyiksaan terhadap warga sipil. Menurut dia, polisi akan bersikap baik jika masyarakat dan lingkungan yang ada mendukung anggotanya bersikap baik.

"Tetapi atas nama Polri, kami mohon maaf jika memang terjadi hal demikian dan tidak akan menolerir anggota kami yang melakukan penyiksaan itu," kata Syaiful.

https://nasional.kompas.com/read/2017/10/13/23134781/kontras-nilai-penyiksaan-masih-dianggap-wajar-oleh-aparat-hukum

Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke