Ibu dan anak ini menjalankan bisnis produksi beras di Lampung. Mereka merugi hampir Rp 700 juta karena truk beserta beras yang tengah diangkut dirampok saat perjalanan dari Lampung ke Prabumulih, Sumatera Selatan.
Polisi menjadi satu-satunya harapan untuk mengusut peristiwa perampokan itu. Akan tetapi, belum ada perkembangan dari pelaporan yang disampaikan Gandini dan Tommy sejak tiga bulan lalu.
Peristiwa itu berawal pada tanggal 19 Juni 2017. Gandini yang memiliki gudang di Metro, Lampung, menyuruh tiga sopirnya, LS, Sm, dan Kc mengantar sebanyak 25,5 ton beras hasil produksi sendiri ke sebuah toko di Pasar Prabumulih, Sumatera Selatan.
Tanggal 20 Juni 2017 pagi, Gandini mengecek salah seorang sopirnya, Kc, untuk menanyakan apakah beras tersebut sudah sampai di tempat tujuan.
“Kc bilang, dia lagi bongkar beras di toko. Tapi dua truk yang lain enggak tahu ke mana. Dia bilang, tadi malam memang jaraknya berjauh-jauhan di daerah Lubuk Batang. Tapi sampai pagi itu, enggak muncul-muncul,” ujar Gandini kepada Kompas.com di Jakarta, Senin (18/9/2017).
Gandini kemudian menelepon dua sopir lainnya, LS dan Sm, namun tidak kunjung tersambung.
Keesokan harinya, 21 Juni 2017, ia baru mengetahui bahwa kedua truknya dirampok. Informasi itu diperoleh dari seorang sopirnya yang lain.
Pelaku disebut menelantarkan kedua sopir dengan tangan terikat dan mata tertutup di daerah Bayunglincir (perbatasan Jambi-Palembang atau sekitar delapan jam dari Palembang).
“Sopir yang dirampok itu baru telepon saya tanggal 21 Juni. Dia telepon suami saya melapor bahwa dirampok. Truk dipepet Avanza kemudian ditembaki. Tangan dan kakinya lalu diikat dan matanya ditutup. Sopirnya dibuang di tempat yang jauh, begitu dia bilangnya,” ujar Gandini.
Malam itu juga, Tommy, anak Gandini, langsung menuju lokasi dan melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Lubuk Batang.
Namun, laporan ditolak dengan alasan pelapor harus korban alias sopir. Sementara, saat itu kedua sopir yang menjadi korban tengah berada dalam perjalanan ke Lubuk Batang dari lokasi mereka ditelantarkan perampok.
Tommy juga sempat mencoba membuat laporan ke Polda Sumatera Selatan. Namun, petugas lagi-lagi menolaknya tanpa alasan yang jelas.
Petugas Polda juga menyarankan agar laporan dilayangkan ke Polsek. Alhasil, laporan polisi resmi baru dibuat pada tanggal 22 Juni 2017.
Tiga bulan berlalu, hingga saat ini, Gandini belum menerima kabar apapun dari polisi mengenai perkembangan kasusnya.
“Setiap minggu itu saya telepon, mereka bilang sabar, sabar. Saya jadi serba salah. Kalau setiap seminggu saya coba tanya kan wajar ya. Tapi kalau saya tiap hari tanya nanti dibilangnya malah maksa,” ujar dia.
Ia juga mempertanyakan tindak lanjut polisi setelah menerima laporan yang disampaikannya. Sebulan setelah pelaporan, polisi tak meminta keterangan apapun darinya.
Polisi hanya mengambil keterangan sopir yang menjadi korban sebanyak dua kali.
Polisi baru mengambil keterangan Gandini setelah ia meminta bantuan dari salah seorang rekan yang bertugas di Polres OKU.
Janggal
Tommy menilai, ada sejumlah kejanggalan dalam kasus yang menimpa bisnisnya tersebut. Namun, menurut dia, polisi seakan mengabaikan kejanggalan-kejanggalan itu.
Pertama, alat bukti tali rafia untuk mengikat sopir. Keterangan sopir yang menjadi korban menyatakan, usai dibuang dalam keadaan tangan dan kaki terikat serta mata ditutup lakban, mereka berusaha memutuskan tali yang mengikat tangannya dengan menggesek-gesekkan tali ke pohon karet.
“Sementara, saya lihat tali rafia itu tidak seperti digesek-gesek. Tapi digunting. Karena potongannya itu rapih,” ujar Tommy.
Kedua, sopir mengaku, kedua ponselnya diambil pelaku. Sim card ponsel itu dibuang lalu ponselnya dikembalikan kepada sopir.
Selain keterangan itu dirasa janggal, keanehan juga dirasakan karena sopir mengaku, pelaku memasukkan ponsel itu ke saku bajunya.
Padahal, saat kejadian sang sopir menggunakan kaos yang tidak memiliki saku.
Ketiga, dua orang sopirnya menghilang dan tidak pernah mendatangi gudang sejak peristiwa itu.
Tommy sendiri tidak dapat mengontak kedua sopirnya itu.
“Semua kejanggalan itu sudah saya sampaikan sih ke polisi. Tapi tidak ada tindak lanjutnya. Saya berencana memindahkan laporan ini ke Polres saja kalau di Polsek enggak ada kejelasan,” ujar dia.
Alasan polisi
Kompas.com sempat mengonfirmasi perkara itu kepada Kepala Unit Reskrim Polsek Lubuk Batang Bripka Ibnu Salim melalui sambungan telepon.
Ibnu mengaku kesulitan mengungkap perkara itu karena minimnya saksi.
“Dalam kasus ini, sulit bagi kami untuk mencari keterangan lain selain sopir. Kasus ini minim saksi,” ujar Ibnu.
Apalagi, sopir mengaku, tidak jelas melihat wajah pelaku. Sebab, kejadian berlangsung pada malam hari dan dalam waktu yang cepat.
Mengenai dugaan persekongkolan sopir dengan para pelaku, Ibnu tidak bisa berkomentar banyak.
“Dugaan bisa-bisa saja. Tapi perlu bukti. Lagipula perkara yang dilaporkan kan perampokan. Nah dalam laporan itu, sopir jadi saksi. Kalau ada dugaan penggelapan misalnya. Berarti TKP bukan di kami, tapi di Lampung. Kalau kami mengusut laporan perampokannya,” ujar Ibnu.
Ia menegaskan, jajarannya sudah maksimal dalam mengusut perkara ini. Jika memang dinilai penyidikan tidak menghasilkan progres yang baik, Ibnu mengatakan, hal itu semata karena minimnya saksi.
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/21/00514341/beras-255-ton-dirampok-korban-berharap-polisi-usut-kasusnya