ICJR menyatakan, rumah aman atau safe house merupakan tempat aman untuk menyembunyikan seseorang yang tidak ingin diketahui oleh pihak tertentu atau berada dalam situasi atau keadaan bahaya.
Beberapa jenis safe house, menurut ICJR, yakni untuk pengamanan saksi yang terancam karena kepentingan memberikan kesaksian. Atau, menjadi tempat singgah bagi perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan.
Sehingga rumah itu menjadi tempat aman sementara dengan menempatkan seseorang pada suatu tempat yang dirahasiakan, demi melindungi saksi dan korban dari tindakan yang membahayakan atau mengancam dari si pelaku tindak pidana atau orang-orang terkait lainnya.
"Tujuan umumnya adalah untuk kepentingan dan kelancaran berjalannya sebuah proses peradilan pidana yang membutuhkan peran dari saksi dan korban yang dilindungi tersebut," demikian pernyataan tertulis ICJR, Rabu (16/8/2017).
Berdasarkan tempat operasionalisasinya, rumah aman dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama, rumah aman yang bersifat permanen atau bersifat statis sehingga menetap pada satu lokasi tertentu.
Kedua, adalah rumah aman yang bersifat mobile atau berpindah-pindah. Ini adalah tipikal rumah aman yang dinamis. Jadi rumah aman model seperti ini dapat berlokasi di mana pun yang tidak dikenal secara umum.
Di Indonesia, lanjut ICJR, dasar hukum penempatan saksi yang terancam dalam perlindungan rumah aman saat ini didasarkan kepada Pasal 5 Ayat (1) Huruf K Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Aturan ini menyebutkan bahwa saksi dan korban berhak mendapatkan tempat kediaman sementara atau rumah aman. Karena penggunaan rumah aman merupakan operasi perlindungan yang khusus dan spesifik, maka biasanya penggunaannya lebih selektif dibandingkan dengan metode perlindungan lainnya.
Selain itu, di samping lebih rumit juga menimbulkan biaya finansial yang cukup besar. Oleh karena itu maka rumah aman memiliki kriteria yang lebih khusus.
Orang-orang yang mendapatkan perlindungan rumah aman adalah orang-orang yang berstatus saksi kunci, yang mendapat kondisi ancaman serius dari pihak tertentu, yang ditentukan berdasarkan penilaian yang dilakukan untuk hal tersebut.
Kadang kala orang yang mendapatkan perlindungan meliputi keluarga dari orang yang di lindungi tersebut, mencakup keluarga inti seperti ayah, ibu dan anak-anaknya. Beberapa kasus juga mencakup kerabat yang lebih luas.
Lokasi rumah aman pasti selalu dirahasiakan, dan terbatas hanya diketahui oleh beberapa orang tertentu, demi keamanan bagi orang-orang yang ditempatkan di dalamnya.
Persoalan yang sekarang terjadi adalah adanya tuduhan yang menilai keberadaan safe house yang dimiliki KPK adalah ilegal, tanpa dasar hukum.
ICJR menyoroti mantan saksi yang dilindungi KPK dalam kasus suap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, Niko Panji Tirtayasa alias Miko justru menimpakan kesalahan kepada KPK mengenai hal-hal yang ia alami dalam rumah aman KPK.
"Miko menuduh beberapa hal, seperti dirinya dilarang bersosialisasi dengan warga sekitar selama di sana, diberi jatah dengan diantarkan makanan setiap harinya dan dilarang membeli makan di luar," tulis ICJR.
(Baca: Pengakuan Miko Selama Berada di "Safe House KPK" di Depok)
Hal-hal ini, lanjut ICJR, harus didudukkan kembali, sehingga tidak ada kekacauan dan tuduhan-tuduhan yang kurang tepat atas penggunaan rumah aman, baik di KPK maupun di berbagai lembaga lainnya seperti LPSK.
Berkaca pada syarat dan model perlindungan saksi, ICJR menyatakan memang tidak gampang memberikan perlindungan dalam rumah aman ini. Karena begitu ketatnya syarat-syarat, maka umumnya tidak banyak juga saksi yang bersedia masuk dalam perlindungan rumah aman dan beralih ke model perlindungan lainnya.
Di samping itu karena tata tertib di rumah aman yang umumnya lebih ketat, maka pasti akan ada konsekuensi pengekangan kebebasan secara terbatas. Hal ini demi kepentingan keamanan saksi atau keluarganya.
Oleh karena itu, menurut ICJR dalam kasus KPK, pernyataan rumah aman KPK sebagai tempat penyekapan tidak tepat.
"Menurut ICJR dalam kasus KPK, pernyataan-pernyataan yang menyatakan bahwa saksi tidak bebas bergerak dan dikekang yang kemudian disimpulkan seakan akan rumah aman adalah tempat penyekapan menjadi sulit diterima," tulis ICJR.
Hal ini karena dalam penggunaan rumah aman, jika berkaca dalam peraturan dan praktik di LPSK, justru saksi atau korban itu sendiri lah yang sepakat masuk ke dalam safe house.
Hal itu dibakukan dalam perjanjian perlindungan dan penandatangan kesepakatan tata tertib dalam rumah aman.
https://nasional.kompas.com/read/2017/08/16/16551771/icjr--rumah-aman-kpk-sebagai-tempat-penyekapan-sulit-diterima