Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Membaca Pancasila Secara Dialektik: dari Sila Kelima ke Sila Pertama

Kompas.com - 05/06/2017, 10:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

Banyak diskusi Pancasila seringkali tertuju pada Sila Pertama, "Ketuhanan yang Maha Esa". Memang ada presedennya, yang terkini adalah merebaknya sikap intoleran dan sentimen antar agama.

Meskipun hal itu sebenarnya bukan fenomena yang berdiri sendiri melainkan berkelindan dengan anasir ekonomi-politik. Sinyalemen itu dibaca oleh beberapa intelektual Indonesia dalam Jurnal Maarif, "Setelah Aksi Bela Islam: Gerakan Sosial Islam, Demokratisasi dan Keadilan Sosial", rilis Desember 2016 lalu.

Di sisi lain, OXFAM (2017) beberapa bulan lalu merilis laporannya tentang ketimpangan sosial-ekonomi di Indonesia. Dalam keterangannya OXFAM menyebut bahwa kekayaan 4 miliader Indonesia sejumlah 25 miliar dolar AS, setara dengan kekayaan 100 juta penduduk miskin. Belum lagi ditambah dengan data Indonesia peringkat ke tujuh dalam indeks kapitalisme kroni dunia (2016).

Dalam konteks seperti itulah kita perlu membaca Pancasila secara dialektik daripada doktriner. Membaca secara dialektik artinya berangkat dari kondisi material yang ada (das sein) daripada berangkat dari klaim ideal (das sollen).

Secara doktriner kita diajarkan membaca dari Sila Pertama berurutan sampai ke Sila Kelima; Membaca dialektik justru sebaliknya, berangkat dari sila yang paling problematis.

Sila Kelima

Alih-alih memulainya dari Sila Pertama, cara baca dialektik itu dimulai dari Sila Kelima, "Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia".

Spektrum masalahnya yakni kondisi-kondisi apa yang memungkinkan terpenuhinya atau tidak nilai keadilan sosial. Data-data beberapa tahun terakhir menggambarkan dengan pasti: Indonesia berada pada derajat keadilan yang rendah.

World Bank (2015) menemukan satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 50,3 persen aset bangsa ini. Penguasaan aset ini seperti perbankan, tanah, sawit, pertambangan, properti, telekomunikasi dan seterusnya.

Modusnya persis yang diungkapkan The Economist (2016), yakni sebuah skema kapitalisme kroni yang bekerja lewat kelindan: penguasa - pengusaha dengan mencari rente (rent seeking) di antara keduanya. Meminjam sinisme Rizal Ramli "Dwifungsi Pepeng", pejabat - pengusaha.

Ujungnya yakni konsentrasi kekayaan pada segelintir orang dengan meninggalkan remah-remah roti untuk diperebutkan puluhan juta penduduk lainnya.

Bila kita lacak lewat kontribusi terhadap PDB (2016), yang merebutkan remah roti itu sebanyak 107 juta orang tenaga kerja di mana 96 persennya adalah usahawan mikro dan kecil.

Konsentrasi kekayaan itu hanya beredar di 4.987 perusahaan besar dengan kontribusi pada PDB sebesar 39 persen yang hanya menyerap 3 juta tenaga kerja.

Tentu saja di puncak piramid perusahan itu bertengger usahawan nasional kita yang kerap muncul nama-namanya di deretan orang kaya versi Forbes atau Fortune.

Ketimpangan makin terlihat bila kita mau masuk lebih dalam pada akses kapital antara Si Besar dengan Si Kecil.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun 2016 merilis bahwa sebaran kredit UMKM hanya 18,45 persen dari total plafon kredit perbankan 4.000 triliun.

Sementara Si Besar dapat mengakses sampai 81,55 persen yang itu tentu saja berkorelasi dengan skema kapitalisme kroni berupa fasilitas kemudahan.

Sila Keempat

Dengan timpangnya akses dan distribusi kekayaan nasional, Sila Keempat dan Ketiga menjadi rapuh. "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".

Sila itu merujuk pada bangunan demokrasi politik Indonesia. Gejala keroposnya Sila Keempat adalah money politic yang berkembang pada tiap suksesi politik.

Syafrudin Karimi dalam orasi Guru Besarnya menyampaikan "Manifesto Demokrasi Ekonomi" (2010). Kata dia, minusnya akses ekonomi yang berkeadilan melahirkan ekses politik yang serius: lahirnya pasar jual-beli suara.

Itu senada yang diungkapkan Mohammad Hatta (1933) beberapa dasawarsa silam. Demokrasi politik harus berdampingan dengan demokrasi ekonomi dan sebaliknya.

Demokrasi politik minus demokrasi ekonomi hanya melahirkan panggung politik yang nir-kualitas. Proses seleksi politik menjadi rendah mutunya dengan preseden mutakhir misalnya bermunculannya dinasti politik yang oligarkis.

Di sisi lain, demokrasi politik tak paralel dengan capaian dengan kesejahteraan masyarakat. Keduanya menjadi terpisah.

Lebih dalam lagi, patronase politik membuat ruang publik Habermasian menjadi ilusif. Yang ada hanyalah sinisme: membela yang bayar, bukan yang benar. Modus kekiniannya adalah "pasukan nasi bungkus" (Panasbung).

Dengan puluhan hingga ratusan ribu rupiah orang dapat digiring untuk menolak atau menerima suatu kebijakan. Caranya tentu lewat pengerahan massa. Fenomena "Panasbung" merupakan gejala rendahnya kualitas demokrasi politik kita.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Nasional
TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

Nasional
Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Dampak Eskalasi Konflik Global, Defend ID Akui Rantai Pasokan Alat Pertahanan-Keamanan Terganggu

Nasional
PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

PKS Klaim Punya Hubungan Baik dengan Prabowo, Tak Sulit jika Mau Koalisi

Nasional
Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Tak Copot Menteri PDI-P, Jokowi Dinilai Pertimbangkan Persepsi Publik

Nasional
Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Pengamat: Yang Berhak Minta PDI-P Cabut Menteri Hanya Jokowi, TKN Siapa?

Nasional
Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Klarifikasi Unggahan di Instagram, Zita: Postingan Kopi Berlatar Belakang Masjidilharam untuk Pancing Diskusi

Nasional
PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

PDI-P “Move On” Pilpres, Fokus Menangi Pilkada 2024

Nasional
Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Sandiaga Usul PPP Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, Mardiono: Keputusan Strategis lewat Mukernas

Nasional
Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Rakernas PDI-P Akan Rumuskan Sikap Politik Usai Pilpres, Koalisi atau Oposisi di Tangan Megawati

Nasional
Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Bareskrim Periksa Eks Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman Terkait Kasus Dokumen RUPSLB BSB

Nasional
Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Lempar Sinyal Siap Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Kita Ingin Berbuat Lebih untuk Bangsa

Nasional
Anies: Yang Lain Sudah Tahu Belok ke Mana, Kita Tunggu PKS

Anies: Yang Lain Sudah Tahu Belok ke Mana, Kita Tunggu PKS

Nasional
Nasdem: Anies 'Top Priority' Jadi Cagub DKI

Nasdem: Anies "Top Priority" Jadi Cagub DKI

Nasional
Sekjen PDI-P: Banyak Pengurus Ranting Minta Pertemuan Megawati-Jokowi Tak Terjadi

Sekjen PDI-P: Banyak Pengurus Ranting Minta Pertemuan Megawati-Jokowi Tak Terjadi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com