JAKARTA, KOMPAS.com - Pemasukan dana jaminan sosial melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) terus mengalami defisit sejak diluncurkan pada 2014 lalu.
Pada tahun pertama, defisit mencapai Rp 3,3 triliun. Angka ini naik menjadi Rp 5,7 triliun pada 2015.
Pada 2016, angka defisit terus naik menjadi Rp 9,7 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan, dalam rapat tingkat menteri bersama Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Kamis (30/3/2017), dibahas sejumlah skenario.
Berbagai kebijakan tengah dikaji untuk meningkatkan pendapatan dan menekan pengeluaran.
Langkah ini juga didukung dengan diterbitkannya instruksi presiden atau amandemen peraturan presiden.
"Rapat ini saya ingin dengar masukan dari kementerian dan lembaga negara telnis pelaksana program JKN-KIS ini. Mana skenario yang kita sepakati, baru nanti kita laporkan kepada Bapak Presiden," kata Puan di Kemenko PMK, Jakarta Pusat, Kamis.
Pada 2019, populasi penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 268,2 juta jiwa.
Pemerintah melalui Kemenko PMK akan mensinkronisasi dan mengendalikan kebutuhan jaminan kesehatan masyarakat.
Kemenko PMK akan menghitung ulang jumlah penerimaan dana jaminan kesehatan nasional, mulai dari besaran iuran, kolektabilitas iuran, hingga bauran kepesertaan.
Sementara, dari sisi pengeluaran akan dihitung kembali besaran tarif, providers payment mechanism, kendali biaya dan efisiensi operasional.
Selain itu, penguatan peran pemerintah daerah terkait pembiayaan dana peserta JKN-KIS juga tengah diatur di daerah masing-masing (cost sharing).
"Soal payung hukum kami (pemerintah) menyiapkan dua opsi, yaitu diterbitkan pepres baru, karena sudah beberapa kali mengalami perubahan. Atau merivisi peraturan perundang-undangan yang ada disesuaikan dengan substansi dengan pengendalian defisit," kata Puan.