JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo tidak mempermasalahkan jika tujuh kasus pelanggaran hak asasi manusia berat pada masa lalu diselesaikan lewat jalur rekonsiliasi atau non-yudisial.
Hal ini disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menanggapi rencana Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto yang akan menempuh jalur rekonsiliasi dalam penyelesaian tragedi Trisakti serta Semanggi I dan II.
"Ya tidak apa-apa kalau ketujuh-tujuhnya mau diselesaikan non-yudisial juga," kata Teten di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (17/2/2017).
Teten mengatakan, Jokowi memang mempersilakan Wiranto untuk memilih apakah kasus pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan lewat rekonsiliasi atau secara yudisial melalui pengadilan HAM Ad-hoc.
"Presiden tidak sampai ke tingkat detail itu (yudisial atau non-yudisial)," ucap Teten.
Hal yang terpenting, lanjut Teten, jalur mana pun yang ditempuh harus dipikirkan dan dikaji secara matang. Para korban pelanggaran HAM juga harus diajak bicara sehingga ada kesamaan pendapat dengan pemerintah.
"Toh saya kira waktu kami dialog dengan teman-teman Komnas HAM, dengan aktivis HAM juga, memang pilihannya kan antara penegakan hukum atau non-hukum," ucap Teten.
Teten menambahkan, pemerintah memang perlu menuntaskan kasus HAM supaya tidak terus terganggu dengan masalah yang terjadi pada masa lalu. Namun, penyelesaian kasus HAM masa lalu bukan berarti harus mencari dan mengadili pelakunya.
"Bukan mengadili pelaku kejahatan HAM-nya, pelakunya, tapi tadi, pencarian kebenaran dan perasaan keadilannya," ucap Teten.
Rencana pemerintah yang akan menyelesaikan tragedi Semanggi I dan II serta Trisakti lewat jalur rekonsiliasi sebelumnya mendapat protes keras dari para aktivis HAM. Rencana ini juga ditentang oleh Maria Katarina Sumarsih yang putranya tewas ditembak dalam tragedi Semanggi I.