JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat terorisme Hermawan Sulistyo menilai sudah sepatutnya penanganan terorisme menjadi wilayah utama kepolisian.
Bukan malah menjadikan TNI sebagai leading sectornya. Hal itu disampaikannya dalam diskusi Revisi Undang-undang (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/6/2016).
(Baca: Pelibatan TNI dalam Penindakan Terorisme Dinilai Tak Sesuai Mandat Reformasi)
"Kalau kita lihat pengertiannya, terorisme adalah tindak kekerasan yang membawa keresahan masal, dimana korbannya adalah masyarakat sipil dan pelakunya pun sipil," ujar Hermawan.
Hermawan pun melanjutkan dengan pengertian tersebut, sudah sepantasnya pula terorisme ditangani dalam perspektif sipil. Artinya, terorisme harus ditangani melalui criminal justice, bukan melalui mekanisme perang.
Dia menambahkan, karena penanganannya berdasarkan criminal justice, maka kepolisianlah yang nantinya menjadi leading sector penanganan tindak pidana terorisme. "Jadi jangan menggunakan pendekatan perang dengan menjadikan TNI sebagai leading sectornya, sebab ini bukan situasi perang dimana TNI berhadapan dengan tentara negara lain," ujar Hermawan.
"Karena pelaku dan korbannya sipil, ya ditangani secara criminal justice yang ada akuntabilitas hukumnya, yang ada proses pengadilannya," lanjut profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Kamis (16/6/2016) silam di Rapat Panita Khusus (Pansus)DPR RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, TNI mengusulkan agar terorisme tidak diartikan sebagai tindak pidana.
Sebab dengan mengartikannya sebagai tindak pidana, penanganannya harus berada di bawah kendali Pori. Sehingga TNI hanya mendapat peran perbantuan.
(Baca: Soal Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme, Ini Kata Kapolri)
Namun usulan tersebut ditentang oleh sebagian pihak. Sebab akan menutup pola criminal justice yang memberi kesempatan bagi tersangka untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di pengadilan. Artinya tersangka bisa saja dieksekusi tanpa ada proses pengadilan.
Pasal 43B ayat (1) draf RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyatakan, kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme.
Sementara itu, ayat (2) menyatakan peran TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Polri.