JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi IX DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri Kesehatan Nila Moeloek, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Biofarma, dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) terkait penyebaran vaksin palsu yang marak diperbincangkan dalam beberapa hari terakhir.
Dalam kesempatan tersebut, Nila dicecar sejumlah pertanyaan oleh para anggota Komisi IX. Sebab, sebelumnya ia sempat menyebutkan bahwa peredaran vaksin palsu diketahui sudah sejak 2003 silam.
Salah satunya anggota Komisi IX, Irma Suryani Chaniago. Ia menduga ada "pemain" di antara lancarnya distribusi vaksin palsu tersebut. Sebab, distribusinya tersimpan rapi selama lebih dari 10 tahun.
"Artinya, ada yang bermain di sini, mulai dari penerima, pemasok, pembuat," ujar Irma di ruang rapat Komisi IX, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/6/2016).
(Baca: Vaksin Palsu Beredar, Fahri Hamzah Anggap BPOM Kebobolan)
Ia juga meragukan jika paramedis tak bisa membedakan mana vaksin asli dan palsu karena rentang harga keduanya sangat jauh.
"Mestinya paramedis sudah tahu harganya. Tetapi, kenapa bisa sedemkkian lama tersimpan rapi?" kata dia.
Irma juga menyinggung soal sikap Nila yang dianggap melindungi diri dan cenderung melindungi institusinya, misalnya dengan melempar kesalahan kepada BPOM. Padahal, kata Irma, BPOM memiliki anggaran yang kecil dan Kemenkes tak menyokongnya. Begitu pula dari sisi sumber daya manusia dari BPOM yang dianggap masih minim.
"Saya cuma ingin Kemenkes tidak defensif. Ketika rakyat mengadu, tolong diselesaikan. Jangan selalu berdalih itu bukan pekerjaan Menkes," tutur politisi Partai Nasdem itu.
(Baca: Pasutri Pembuat Vaksin Palsu Diduga Manfaatkan Kekurangan Stok di Rumah Sakit)
Sementara itu, anggota Komisi IX dari Fraksi PAN, Saleh Partaonan Daulay, mendesak agar Nila membuka data-data rumah sakit, klinik, dan fasilitas kesehatan lain kepada publik. Selain itu, ia juga kecewa dengan sikap Kemenkes melalui akun Twitter Kemenkes yang menyebutkan hanya sekitar 1 persen vaksin yang diduga palsu.
"Hanya? Ini menyepelekan masalah. Andaikan ada yang meninggal karena ini harus dikejar. Tidak boleh ada yang mengonsumsi vaksin palsu bermasalah," ujar Saleh.
Senada dengan Saleh, anggota Komisi IX dari Fraksi Golkar, Dewi Asmara, menyayangkan kasus vaksin palau yang sudah bergulir belasan tahun. Ia pun menekankan soal pola pengawasan yang diberlakukan Kemenkes dan BPOM.
"Tiga belas tahun itu sudah tiga menteri (kesehatan). Ini tidak main-main. Apa iya bisa sedemikian tertutip? Atau dilakukan sedemikian masif?" kata Dewi.
Sementara itu, Ketua Komisi IX, Dede Yusuf mengatakan, perlu ada kontrol terhadap penggunaan anggaran oleh Kemenkes. Sebab, anggaran yang dialokasikan untuk vaksin reguler saja, kata dia, sangat besar.