JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengakui kerja sama pengamanan kawasan perairan antara Indonesia, Filipina, dan Malaysia hingga saat ini belum berjalan.
Padahal, kesepakatan ini sudah diputuskan ketiga negara setelah kelompok bersenjata asal Filipina Abu Sayyaf untuk kedua kalinya menyandera warga negara Indonesia pada April 2016 lalu.
"Itu yang belum jalan. Masih ada beberapa perbedaan dengan counter part kita itu," kata Luhut usai memimpin rapat mengenai tujuh WNI yang disandera di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (24/6/2016).
Luhut berharap, dengan kembali disanderanya WNI oleh kelompok bersenjata Filipina, kerja sama pengamanan kawasan bisa betul-betul berjalan. Ia juga berharap pemerintahan baru Filipina yang baru terpilih bisa lebih bekerja sama.
(Baca: Tujuh WNI Kembali Disandera, Pemerintah Lanjutkan Moratorium Ekspor Batubara ke Filipina)
"Kalau sudah masuk teritorial Filipina, kami minta Filipina tanggung jawab untuk mengamankan kapal-kapal kita," ucap Luhut.
Luhut pun mengingatkan pemerintah sudah memutuskan moratorium ekspor batubara ke Filipina sebagai respons atas masalah ini.
Menurut dia, Filipina sangat bergantung pada ekspor batubara dari Indonesia. Moratorium baru dicabut setelah Filipina benar-benar menjamin keselamatan WNI yang masuk ke wilayahnya.
"Moratorium itu akan berpengaruh kepada ekonomi, khususnya di Filipina," ucap Luhut.
(Baca: Ini Alasan Pemerintah Lambat Verifikasi Info 7 WNI yang Disandera)
Tujuh WNI yang disandera merupakan anak buah kapal (ABK) TB Charles 001 dan kapal tongkang Robi 152. Menlu Retno Marsudi mengatakan, informasi soal penyanderaan itu diterimanya pada Kamis (23/6/2016) kemarin.
Retno menyebutkan, penyanderaan tersebut terjadi di Laut Sulu. Penyanderaan, lanjut dia, terjadi dalam dua waktu berbeda, pada 20 Juni 2016.
Saat ini, menurut Retno, enam ABK yang dibebaskan tersebut masih dalam perjalanan membawa kapal TB Charles 001 dan tongkang robi 152 menuju Samarinda.