JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa Hukum Djan Faridz, Humphrey R Djemat menginginkan agar Presiden Joko Widodo, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, serta Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly hadir dalam proses mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016, dinyatakan bahwa para pihak prinsipal harus hadir langsung," kata Humphrey di PN Jakarta Pusat, Rahu (6/4/2016).
Menurut dia, jika ketiga tokoh mewakili pemerintah itu tidak hadir, maka selain membuat persidangan menjadi cacat hukum, juga akan merugikan pemerintah sendiri.
Ketidakhadiran mereka dianggapnya tidak menunjukkan itikad baik terhadap proses yudikatif yang sedang dilakukan.
"Kalau Presiden tidak patuh terhadap persidangan, tidak mau hadir, berarti memberi contoh yang tidak baik. Dari segi politik pun bisa dianggap melecehkan pengadilan," ujar Humphrey.
Ia yakin Jokowi akan patuh dan menghadiri proses mediasi. Kuasa hukum Djan menilai Jokowi serius mengatasi masalah ini dan itu terlihat sejak persidangan pertama di mana kuasa hukum yang mewakili Presiden datang paling awal.
Adapun mediasi yang dilakukan hari ini dapat dilakukan karena seluruh kuasa hukum tergugat hadir dengan menunjukkan surat kuasa yang ditandatangani langsung oleh tergugat.
Dalam mediasi tersebut, semua pihak akan kembali ditanya tentang kesediaan menempuh cara medias, termasuk waktu mediasi berikutnya.
"Apa yang ditakuti, sih? Kalau tidak hadir, berarti Presiden takut dengan Pak Djan Faridz," ujarnya.
Hingga berita ini ditayangkan, mediator yang ditunjuk PN Pusat, Diah Siti Basariah, masih belum hadir ke ruang mediasi.
Djan telah mengajukan gugatan terhadap pemerintah, yang dianggap tidak melaksanakan putusan Mahkamah Agung Nomor 601/2015.
Putusan MA itu membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, yang mengesahkan Surat Keputusan Menkumham atas kepengurusan PPP hasil Muktamar Surabaya.
Menkumham telah mencabut SK pengurus yang dipimpin Romahurmuziy itu pada Januari 2016.
Meski demikian, Menkumham tidak mengesahkan kepengurusan Djan Faridz, yang dibentuk pada Muktamar PPP di Jakarta.
Sebaliknya, Menkumham justru menghidupkan kembali pengurus PPP hasil Muktamar Bandung dan memberi tenggat waktu enam bulan untuk menyelenggarakan muktamar islah.
Menurut Djan, tindakan yang dilakukan pemerintah itu merupakan perbuatan melawan hukum. Tak hanya menggugat Presiden dan dua menteri, Djan juga menuntut ganti rugi sebesar Rp 1 triliun kepada pemerintah.
Mediasi sempat tertunda pada persidangan kedua. Meski perwakilan dua tergugat hadir pada sidang, Selasa (29/3/2016) lalu, hakim Baslin Sinaga yang memimpin sidang memutuskan untuk tetap menundanya.
Penundaan dilakukan karena surat kuasa yang diberikan kepada tim hukum Kemenkumham tidak ditandatangani oleh Yasonna.
Pada persidangan hari ini, surat kuasa yang diberikan pada tim hukum tergugat seluruhnya ditandatangani langsung oleh tergugat sehingga bisa dinaikkan ke proses mediasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.