Tak sedikit yang menganggap, surat edaran itu untuk menyasar para penghina kepala negara.
"Banyak yang belum baca SE soal 'hate speech', tapi sudah sok-sokan menentang dan bersikap skeptis," ujar Ganjar kepada Kompas.com, Selasa (3/11/2015).
Ganjar mengaku sudah mempelajari surat edaran tersebut. Menurut dia, ketentuan dalam surat edaran itu bukan ditujukan bagi mereka yang menghina atau menebar fitnah terhadap kepala negara. Akan tetapi, panduan bagi personel Polri dalam menangani ujaran kebencian yang berpotensi menciptakan konflik sosial horizontal.
Panduan ini merujuk pada pengalaman Polri dalam penanganan peristiwa-peristiwa konflik di Tanah Air yang dilatari oleh kebencian suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok lainnya. Dua peristiwa terakhir yang terjadi di Tolikara, Papua dan Aceh Singkil.
Menurut Ganjar, jika pemerintah ingin berlaku represif terhadap para penghina kepala negara, ada undang-undang yang mengaturnya, yakni Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dipadu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
"Lagipula kalau Polri mau bertindak represif, tanpa ada SE ini pun bisa dilakukan. Kan ada pasalnya di KUHP, yakni pencemaran nama baik dan fitnah. Apalagi saat ini sudah ada UU ITE," ujar Ganjar.
"Ini jangan-jangan ada pihak yang enggak mau diatur? Atau takut jadi enggak bisa komentar seenak udel-nya saja?" lanjut dia.
Ganjar mengatakan, yang harus dikritisi justru kompetensi personel Polri, terkait pemahaman mengenai ujaran kebencian.
Sekilas SE 'Hate Speech'
Setelah melakukan kajian, Polri menerbitkan SE Kapolri soal penanganan ujaran kebencian atau 'hate speech'. SE diteken Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 lalu dan telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) di seluruh Indonesia untuk dipedomani.
Pada intinya, ujaran kebencian yang masuk ke obyek SE ini adalah ujaran yang bertujuan menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat yang dibedakan dari aspek suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antargolongan, warna kulit, etnis, gender, kaum difabel dan orientasi seksual.
SE juga memberikan petunjuk bagi personel Polri dalam menangani ujaran kebencian itu agar tidak sampai menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial yang meluas. Salah satunya adalah personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.
Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, maka personel Polri wajib mengambil tindakan antara lain mencari solusi perdamaian antara pihak bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak negatif yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat.
Terakhir, jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan KUHP, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.