Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keadilan Sosial dan Revolusi Mental

Kompas.com - 23/10/2015, 19:00 WIB

Oleh: Herdi Sahrasad

JAKARTA, KOMPAS - Satu tahun pemerintahan Joko Widodo- Jusuf Kalla belum mampu mengurangi beban kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan ketakadilan sosial yang tajam.

Alih-alih memberantas kemiskinan, pada era Jokowi-Kalla justru terjadi peningkatan jumlah warga miskin mencapai setidaknya ratusan ribu orang akibat pelemahan rupiah, pelambatan ekonomi, dan merosotnya daya beli masyarakat. Sementara ekonomi Indonesia pada dasarnya liberal, kapitalistis, bercorak pasar bebas, nyaris seluruhnya dikuasai unsur eksternal, bukan rakyat pribumi asli Indonesia.

Persoalan yang sangat krusial sejak era Orde Baru adalah kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial serta dominasi modal yang terus-menerus membayangi keadaan bagai api dalam sekam. Rasio gini kita meningkat dari 0,4 menjadi 0,42 sehingga dapat diartikan kesenjangan ekonomi kita semakin tinggi. Dalam kaitan ini, kerusuhan Tolikara, Singkil, dan seterusnya tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi-politik dan sosial yang mencengkeram situasi-kondisi yang ada.

Belajar dari kesalahan

Kesenjangan ekonomi dan ketidakadilan sosial yang tajam itu terjadi sejak era Orde Baru. Pemerintahan Soeharto sering tampil dengan argumen bahwa yang penting ialah "memperbesar kue" untuk kemudian kelak dibagi secara adil dan merata. Argumennya, dengan memperbesar kue itu secepat mungkin, pembangunan ekonomi mengharuskan pemerintah mengikuti kebijakan untuk menyerahkan kegiatan pembangunan ekonomi sektor swasta kepada mereka yang "kompetitif" dan secara "obyektif" punya kemampuan yang andal.

Konsekuensinya, Pak Harto menjatuhkan pilihan kepada para pelaku ekonomi dari kalangan warga masyarakat keturunan Tionghoa. Sebab, merekalah yang sampai saat itu memenuhi kriteria sebagai yang "kompetitif" dan secara "obyektif" berkemampuan. Dan, seolah-olah merupakan kemestian berlakunya hukum besi dalam persaingan bebas, kebijakan "obyektif" pemerintahan Orde Baru sampai era Reformasi di bidang ekonomi telah menjerumuskan masyarakat ke dalam "Darwinisme ekonomi". Dalam pertimbangan apa pun, sama sekali tidak adil bahwa ada 3-5 persen warga negara keturunan yang menguasai 70 persen ekonomi nasional.

Harus kita akui, dengan latar belakang jiwa kewirausahaan dalam sejarah yang panjang pada era Orde Baru para taipan Tionghoa terbukti menunjukkan kemampuan luar biasa. Saham "pembangunan nasional" yang yang mereka "sumbangkan" jauh di atas proporsinya secara berlipat ganda sehingga terjadi keganjilan besar bahwa 3 persen-4 persen warga Tionghoa menguasai 70 persen ekonomi nasional (Nurcholish Madjid, 1998). Menyedihkan: warga pribumi yang jumlahnya "cuma" 90-an persen dan rata-rata masih hidup di bawah garis kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan serasa tidak diberi peluang yang sama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Nasional
Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

Nasional
Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Nasional
Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Soal 'Presidential Club', Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Soal "Presidential Club", Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Nasional
Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Nasional
Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com