"Presiden cukup kerja keras, maka pernyataan kritik itu gugur dengan sendirinya," ujar Arif, dalam diskusi publik yang digelar Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia (GDRI) di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (10/8/2015).
Menurut Arif, Presiden seharusnya melakukan pembuktian bahwa kritik yang dilontarkan masyarakat tidak benar. Dengan demikian, tidak perlu ada gugatan hukum dengan alasan mempertaruhkan nama baik seorang Presiden.
Arif mengatakan, upaya pemberlakuan pasal penghinaan terhadap Presiden menunjukkan bahwa Presiden memiliki problem berupa ketakutan terhadap penghinaan. pasal tersebut juga dinilai melawan etika demokrasi.
Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Rizal Damanik mengatakan, kritik sering digunakan masyarakat sebagai luapan kekecewaan rakyat atas ekspektasi yang besar terhadap kinerja pemerintah. Kritik merupakan ekspresi kemarahan publik yang disampaikan melalui berbagai media, baik secara lisan mau pun tertulis yang terkadang dianggap sebagai penghinaan.
"Kita berharap ada demokrasi yang berkualitas sesuai dengan kenyataan, bukan bermaksud menghina secara pribadi," kata Rizal.
Menurut dia, salah satu penyebab luapan emosi publik melalui kritik adalah terhambatnya proses birokrasi dengan pemerintah. Ia menyarankan agar pasal penghinaan bagi Presiden tidak lagi diatur karena khawatir disalahgunakan untuk memidanakan seseorang.
Dalam Pasal 263 rancangan undang-undang KUHP, pasal mengenai penghinaan terhadap Presiden kembali diusulkan menjadi undang-undang. Pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Saat itu MK berpandangan bahwa pasal tersebut merupakan pasal yang diadopsi dari kolonialisme, dan tidak sesuai dengan prinsip Indonesia sebagai negara demokrasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.