Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Elite, Belajarlah ke Soekarno-Hatta

Kompas.com - 20/05/2015, 15:06 WIB


JAKARTA, KOMPAS
- Di balik rentetan sejarah penangkapan, pembuangan, dan pengasingannya, dua proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta, menunjukkan kejujuran, komitmen, dan kerelaan berkorban demi bangsa Indonesia. Pada momen peringatan Kebangkitan Nasional 20 Mei seperti sekarang ini, elite politik diharapkan mau meneladani keutamaan karakter kedua pendiri bangsa tersebut.

"Tanpa kejujuran terhadap diri sendiri, Soekarno dan Hatta tidak mungkin mampu 'melompat' berjuang. Karena jujur dengan diri sendiri dan memegang kuat komitmen kepada rakyat, mereka bisa menolak iming-iming dan segala macam tawaran dari Pemerintah Belanda," kata sejarawan Anhar Gonggong, Selasa (19/5/2015), di Jakarta.

Merujuk sejarah, Bung Hatta memperlihatkan sikap askese (mati raga) saat diasingkan di Boven Digoel, pedalaman Papua, pada 1934-1935. Karena dia tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, dia hanya mendapat jatah 2,50 gulden per bulan. Dia juga menolak tawaran untuk bekerja di bagian administrasi dengan upah 7,50 gulden per bulan.

Hampir bersamaan, Bung Karno yang sedang mengawali perjuangan politiknya harus rela ditangkap, ditahan di Penjara Banceuy selama menjalani persidangan di Gedung Lanraad (Pengadilan) Bandung pada 1930. Setelah divonis 4 tahun penjara, dia dijebloskan ke Penjara Sukamiskin, lalu diasingkan ke Ende, Bengkulu, hingga Muntok. Membahasakan situasinya yang terlunta-lunta itu, Soekarno mengistilahkan dirinya "dijauhkan dari udara yang bisa mencemari pribumi".

Keutamaan karakter dua pemimpin seperti inilah yang, menurut Anhar, sangat jarang ditemukan lagi pada pemimpin-pemimpin sekarang. Alih-alih berkorban untuk bangsa, banyak pemimpin sekarang yang justru mengutamakan keuntungan pribadi, keluarga, atau partainya.

"Pertengkaran politik sekarang sangat memalukan. Pada saat semestinya membela nasib rakyat, para pemimpin sekarang justru bertengkar demi kepentingan sendiri-sendiri. Dalam masa kemerdekaan sekarang, semestinya kita bisa lebih jujur dan total untuk berkomitmen kepada masyarakat," katanya.

Sejarah yang terbengkalai

Pengasingan Soekarno dan Hatta adalah sejarah penting dan berharga bagi perjalanan bangsa Indonesia. Namun, sebagian situs pengasingan itu justru terabaikan sehingga sejumlah artefak rusak, bahkan hilang. Kondisi memprihatinkan ini ditemui Kompas, April-Mei 2015, saat menelusuri situs pengasingan kedua pemimpin itu di Penjara Banceuy dan Penjara Sukamiskin (Bandung), Ende (Nusa Tenggara Timur), Boven Digoel (Papua), Bengkulu, Banda Naira (Maluku), dan Muntok (Bangka Belitung).

Seiring dengan terbengkalainya situs-situs itu, ternyata sejarah dan nilai-nilai kenegarawanan kedua pendiri bangsa itu juga terkesan terabaikan, kurang diserap, apalagi diterapkan dalam kehidupan masa kini. Sejarah pengasingan itu sering kali hanya disuguhkan sebagai rentetan kronologi peristiwa masa lampau.

Kondisi ini, lanjut Anhar, tak lepas dari kian terpinggirkannya mata pelajaran sejarah dalam kurikulum pendidikan nasional. Banyak yang lupa, di dalam sejarah terdapat dinamika yang harus ditangkap.

"Sejarah mengandung dinamika yang menyambungkan kelampauan, kekinian, dan masa depan. Begitu kita tak menangkap dinamika sejarah, kita akan 'mati'," katanya.

Menurut sejarawan Hilmar Faried, selama pengasingan, Soekarno dan Hatta benar-benar masuk dalam keadaan paling sulit karena dikucilkan dari masyarakat dan budayanya. Dalam kondisi "paling bawah" seperti itu, perjuangan hidup dan mati kedua tokoh itu justru kian kuat dan menyulut solidaritas para pejuang kemerdekaan lainnya.

Fenomena ironis

Selain ditetapkan sebagai cagar budaya, situs-situs pengasingan Soekarno-Hatta hendaknya dikembangkan sebagai sarana untuk menggali dan menyebarkan nilai sejarah sebagai spirit untuk membangun peradaban sekarang dan masa depan. "Di zaman yang lebih enak, banyak pemimpin publik justru korup. Ini fenomena yang terbalik dengan perjuangan bapak bangsa," kata Anhar.

Berdasarkan data Litbang Kompas, dalam lima tahun terakhir, 15 kepala daerah dan mantan kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi. Mereka terdiri dari 6 gubernur, 8 bupati/wali kota, dan 1 mantan bupati. Sebanyak 14 orang di antara mereka divonis hukuman penjara 2-15 tahun. Penyidikan kasus satu kepala daerah dihentikan seiring terbitnya surat perintah penghentian penyidikan. (ABK)

* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Mei 2015 dengan judul "Elite, Belajarlah ke Soekarno-Hatta".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Nasional
Ditanya soal Ikut Dorong Pertemuan Megawati-Prabowo, Jokowi Tersenyum lalu Tertawa

Ditanya soal Ikut Dorong Pertemuan Megawati-Prabowo, Jokowi Tersenyum lalu Tertawa

Nasional
Berhaji Tanpa Visa Haji, Risikonya Dilarang Masuk Arab Saudi Selama 10 Tahun

Berhaji Tanpa Visa Haji, Risikonya Dilarang Masuk Arab Saudi Selama 10 Tahun

Nasional
Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Nasional
Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Nasional
Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Nasional
PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com