JAKARTA, KOMPAS - Meskipun memiliki anggaran yang terbatas, Kepolisian Negara RI tetap berkomitmen untuk membenahi personel dan kelembagaannya pada masa mendatang. Untuk meningkatkan kualitas penyidikan dan profesionalisme, Polri mempersiapkan sertifikasi kemampuan anggota berdasarkan kompetensi.
Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti saat mengunjungi Redaksi Kompas, Senin (16/3/2015), di Jakarta mengatakan, seorang polisi tidak bisa menjadi penyidik meskipun sudah lulus dalam pendidikan dan pelatihan, tetapi juga harus lulus dalam uji kompetensi. "Mereka yang lulus dari ujian kompetensi baru dapat disematkan sertifikasi sebagai penyidik," ujarnya.
Badrodin mengakui, kualitas penyidikan selama ini masih harus dibenahi. Polisi yang selesai mengikuti pendidikan dan pelatihan sebagai penyidik akan mendapat surat keputusan sebagai penyidik umum. Sebagian dari mereka kini bertugas di markas besar (mabes) kepolisian.
"Namun, dengan sertifikasi, Mabes Polri nantinya hanya diisi penyidik dengan keahlian khusus yang sudah tersertifikasi, di antaranya ahli kejahatan siber, ahli lingkungan hidup, dan ahli pasar modal. Sementara penyidik umum hanya akan bertugas di kepolisian daerah (polda) dan di tingkat bawah seperti kepolisian resor (polres) atau kepolisian sektor (polsek)," jelas Badrodin.
Terkait berbagai keterbatasan dana yang dialami Polri dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat, Badrodin menugaskan seluruh jajaran polisi, mulai dari polda, polres, hingga polsek, untuk memodifikasi cara polisi berpatroli.
"Tugas patroli itu, misalnya, bisa dilakukan dengan sistem pengelompokan polisi di suatu wilayah bersama, lalu melakukan patroli dengan berjalan kaki di wilayah yang terjangkau," katanya memberikan contoh.
Apabila mengacu anggaran Polri yang berasal dari APBN 2015 sekitar Rp 51,6 triliun, tambah Badrodin, 67 persen sebenarnya sudah dialokasikan untuk belanja pegawai, seperti gaji dan tunjangan polisi. Juga untuk belanja modal 11 persen dan belanja barang 22 persen, yang digunakan untuk kegiatan operasional, seperti untuk dana bahan bakar minyak.
"Jadi, untuk operasional, dana tersebut sebenarnya hanya cukup untuk selama 200 hari kerja. Selebihnya, Polri harus mengaturnya sendiri," ujarnya.
Menurut Badrodin, dalam satu tahun, Polri menerima sekitar 350.000 pengaduan dari masyarakat. Namun, karena keterbatasan dana, Polri hanya bisa menyelesaikan 55 persen di antaranya. Sisanya dilimpahkan ke kejaksaan atau dihentikan dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
"Dari persentase laporan yang diselesaikan itu, dana untuk penyidikan hanya mampu membiayai 39 persen. Dengan kata lain, setiap satu biaya perkara digunakan untuk menyelesaikan dua atau tiga kasus sekaligus," papar Badrodin.
Badrodin menegaskan, meskipun tidak cukup, kualitas penyidikan Polri tidak tergantung pada anggarannya. "Penyidikan tetap berjalan profesional sehingga mutu penyidikan tetap terjaga," kata lulusan Akademi Kepolisian tahun 1982 itu.
Sementara itu, terkait persoalan-persoalan yang kini dihadapi, seperti kasus calon Kepala Polri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, serta dugaan kasus pidana yang menimpa Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, Badrodin mengatakan, Polri harus mampu menahan diri dan mengambil sikap untuk kepentingan yang lebih besar di masyarakat.
Perlu alat kontrol
Dari diskusi yang digelar sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia mengenai wacana Polri di bawah salah satu kementerian, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Kementerian Dalam Negeri, rohaniwan Romo Benny Susatyo mengatakan, hal itu diperlukan agar polisi dapat lebih fungsional.
"Karena Presiden begitu sibuk dan tidak mungkin mengawasi secara detail, harus ada alat kontrol yang dapat mengawasi polisi secara efektif," ujar Benny.
Menurut dia, reformasi mutlak diperlukan agar polisi tidak terjebak dalam politik kekuasaan. "Meskipun sudah direformasi, Polri juga perlu mengevaluasi diri agar tetap menjadi pelindung rakyat yang mampu menjaga jarak terhadap pemilik modal dan kekuasaan, selain juga memiliki sifat humanisme," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow. "Perlunya Polri ditempatkan di salah satu kementerian agar ada yang mampu memonitor institusi tersebut secara internal, termasuk proses di dalam dan perilaku elitenya," ujarnya.
Di Yogyakarta, terkait pemeriksaan sejumlah aktivis anti korupsi menyusul kasus KPK, sejumlah aktivis mengkritik kinerja Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso. (SAN/B03/HRS)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.