KOMPAS.com
- KURANG  dari tiga bulan menjelang Pemilu 2014, perjalanan ”buron” terpidana korupsi yang disidang in absentia, Andrian Kiki Ariawan alias Adrian Kiki Ariawan (69), akhirnya terhenti di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur. Penjara seumur hidup harus dia jalani.

Adrian adalah salah satu koruptor dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sempat berganti nama sebanyak tiga kali ketika bersembunyi di Australia. Namun, setelah diekstradisi dari Australia, dia hanya bisa tertunduk di dalam pengawalan Tim Terpadu Kejaksaan Agung di salah satu ruang Kejagung RI, Kamis (23/1) jelang tengah malam.

Dengan kedua tangan diborgol, Adrian yang berkemeja merah muda tak berdaya saat dimasukkan ke dalam mobil tahanan. Kepulangannya untuk menjalani vonis mengingatkan, betapa korupsi yang kini semakin masif akhirnya membawa pelaku ke balik jeruji besi. Adrian bersama terpidana Wakil Komisaris Utama Bank Surya Bambang Sutrisno divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 13 November 2002.

Hampir 12 tahun, eksekusi baru bisa dijalani. Itu artinya, vonis terjadi saat Adrian berusia 57 tahun. Ditarik lebih jauh, Adrian bersama Bambang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kurun 1989-1998. Itu artinya, cikal-bakal kongkalikong korupsi sudah terjadi saat usia Adrian sekitar 44 tahun. Modusnya adalah persetujuan pemberian kredit fiktif kepada 166 perusahaan/debitor grup, dengan nilai mencapai lebih dari Rp 1 triliun.

Kredit fiktif berujung korupsi juga mengingatkan kepada laporan Transparency International Indonesia (TII) tentang Corruption Perception Index (CPI) awal Desember 2013. Di laporan itu, Indonesia ada di posisi ke-114 dari 177 negara.

Terkait laporan TII itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto mengingatkan tentang modus merampok uang bank menjelang pemilu.

Untuk membiayai tahun politik, lanjut Bambang, saat ini sesungguhnya sedang terjadi berbagai transaksi. Dalam analisisnya, kasus BLBI terjadi pada 1998 atau sebelum Pemilu 1999. Modus kredit fiktif menjadi sangat marak, apalagi saat itu krisis moneter sedang dialami bangsa ini.

”Tahun 2004, kredit mencurigakan di sektor perbankan juga terjadi. Ada 3-4 kasus kredit perbankan. Tahun 2008 atau sebelum Pemilu 2009, kasus Century terjadi. Apakah tahun ini tidak ada masalah di sektor (perbankan) itu?” begitu kata Bambang sembari mengingatkan agar CPI juga digunakan untuk melihat perspektif tahun politik. (Stefanus Osa)